Senin, 11 April 2011

Psikologi Humanistik

Perkembangan psikologi humanistik tidak lepas dari pandangan psikologi holistik dan humanistik. Pekembangan aliran-aliran behaviorisme dan psikoanalisis yang sangat pesat di Amerika Serikat ternyata merisaukan beberapa pakar psikologi di negara itu. Mereka melihat bahwa kedua aliran itu memandang manusia tidak lebih dari kumpulan refleks dan kumpulan naluri saja.
Mereka juga menganggap kedua aliran itu memandang manusia sebagai makhluk yang sudah ditentukan nasibnya, yaitu oleh stimulus atau oleh alam ketidakkesadaran manusia. Dan yang tidak kalah penting, mereka berkesimpulan bahwa kedua aliran itu menganggap manusia sebagai robot atau sebagai makhluk yang pesimistik dan penuh masalah.
Humanistik mengatakan bahwa manusia adalah suatu ketunggalan yang mengalami, menghayati dan pada dasarnya aktif, punya tujuan serta punya harga diri. Karena itu, walaupun dalam penelitian boleh saja dilakukan analisis rinci mengenai bagian-bagian dari jiwa manusia, namun dalam penyimpulanya, manusia harus dikembalikan dalam kesatuan yang utuh. Pandangan seperti ini adalah pandangan yang holistik. Selain itu manusia juga harus dipandang dengan penghargaan yang tinggi terhadap harga dirinya, perkembangan pribadinya, perbedaan-perbedaan individunya dan dari sudut kemanusiaanya itu sendiri. Karena itu psikologi harus memasuki topik-topik yang tidak dimasuki oleh aliran behaviorisme dan psikoanalisis, seperti cinta, kreatifitas, pertumbuhan, aktualisasi diri, kebutuhan, rasa humor, makna, kebencian, agresivitas, kemandirian, tanggung jawab dan sebagainya. Pandangan ini disebut pandangan humanistik.
Psikologi humanistik dapat dimengerti dari tiga ciri utama, yaitu, psikologi humanistik menawarkan satu nilai yang baru sebagai pendekatan untuk memahami sifat dan keadaan manusia. Kedua, ia menawarkan pengetahuan yang luas akan kaedah penyelidikan dalam bidang tingkah laku manusia. Ketiga, ia menawarkan metode yang lebih luas akan kaedah-kaedah yang lebih efektif dalam pelaksanaan psikoterapi.
Humanistik tidak jelas kaitannya dengan ekologi psikologi. Pada satu sisi, Humanistik tempat yang paling berkuasa atas nilai potensial untuk pengembangan individu.  Ini nilai-nilai pengalaman manusia dan kemampuan manusia untuk melampaui pikiran dengan lingkungan sekitarnya, dengan cara yang kreatif.  Jadi dalam hal Humanistik untuk manusia dan pengalaman. Humanistik adalah ilmu manusia untuk menangkap pengalaman dalam semua keindahan yang subjektif.  Ini yang menyebabkan sebuah penekanan atas berbagai  metode fenomenologi yang bertujuan untuk mendapatkan semaksimal mungkin jati diri manusia.

Senin, 04 April 2011

Kerinduan



            Syifa, nama panggilan dari Syifatun Hasanah. Seorang gadis kecil yang lembut, lucu dan shalehah, membuat semua orang kagum kepadanya. Termasuk dua abangnya itu, Fauzi dan Fauzan. Mereka sangat rukun dan tidak pernah berkelahi. Karena Syifa adalah adik kesayangannya, mereka selalu ingin diperhatikan oleh adiknya itu. Tetapi kedua orang tuanya sangat tidak memerhatikan mereka. Ibu dan ayahnya sibuk, sibuk, dan sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
            Suatu hari ketika mereka akan pergi berangkat kesekolah, sangat memprihatinkan. “Ayah, Ibu dimana kalian?” Syifa mencari-cari orang tuanya. “Neng, ayah dan ibu sedang pergi keluar dari pagi sekali.” Jawab pembantunya. Syifapun terdiam dan akhirnya sarapan sendiri. “Ayah ibu mana fa? Kok sepi gini?” datang Fauzi. “Ga tau bang, aku ga tahan hidup sendirian kayak gini, orang tua sudah ga peduli sama anaknya lagi cuma karena pekerjaan.” Syifa menangis tersedu. Fauzi menjawabnya dengan perlahan, “Syifa adikku, mereka juga butuh uang untuk menghidupi kita, memenuhi kebutuhan kita, kita juga harus bersikap dewasa karena kita bukan anak kecil lagi”.  “Iya dik.. benar kata abangmu, kamu tidak sendirian, Allah selalu ada bagimu dan kita juga ada bagimu”. Sambung Fauzan. “Iya deh bang, tapi aku juga tubuh kasih sayang”. “Syifa, kita semua sayang kamu kok.. udah biarin aja mereka sibuk dengan sendirinya. Nanti juga sadar sendiri”. “Sekarang, cepetan sarapan, nanti telat lagi”. Dengan tenang mereka pergi kesekolah tanpa didampingi orang tuanya.
            Ketika disekolah pada jam istirahat, ayah Syifa meneleponnya. “Kriiiing..Kriiiing..” handphone Syifa berbunyi. “Haloo.. Assalamu’alaykum ayah, ada apa yah?”. “Wa’alaykumussalam, sayang..  Ada berita bagus.”  “Berita bagus apa?” dengan cuek Syifa menjawabnya. “Kita akan pindah ke Singapore, kau akan bersekolah disana”. Terus terang ayah mengabarkan berita bahagia itu. Namun dihati Syifa, tidak sedikitpun bahagia atas keputusan orang tuanya. “Yah, aku ga mau pergi kesana! Aku sudah sangat betah dengan hidup di negeri ini. Kenapa sih yah, cuma karena uang kita menjadi jauh?” sebalnya. “Syifa, dengerin ayah dulu.. Ibu juga setuju kita pergi kesana... Kita bisa bersenang-senang disana” jawab ayah. “Yah, emangnya Indonesia ini kurang apa lagi? Ku sudah cukup senang hidup di Indonesia ini. Apakah ayah tidak tau? Indonesia juga kaya, pemandangannya indah-indah. Kita juga harus bersyukur yah. Hidup bukan untuk berfoya-foya, bukan hanya untuk bersenag-senang, tapi hidup itu yang penting untuk beribadah kepada Allah yah!” Syifa menutup handphonenya dengan rasa kecewa atas keputusan ayahnya yang egois.
            Setelah istirahat, Syifa melakukan dispense pergi ke sekolah abangnya. Tiba disekolah abangnya, ia segera menuju kelasnya walaupun mereka sedang belajar. “Abang Fauzi, abang Fauzan...” Fauzi dan Fauzan mendengar suara Syifa dari arah belakang kelasnya itu. Dan mereka segera pergi ke arah suara itu muncul. “Syifa? Ada apa kesini?” Tanya Fauzi. “Bang, ayah menelepon abang ga?” Resah Syifa. “Oh iya (melihat handphone) ada panggilan tak terjawab dari ayah..”Ujar Fauzi. “Memangnya ada apa?” Fauzan bingung. Syifa menenangkan hatinya terlebih dahulu untuk rilex berbicara dengan nyaman dan tidak tergesa-gesa. “Kita bakalan pindah ke Singapore bang!” akhirnya Syifa menangis lagi. “Apaaa?!” mereka berdua kaget atas apa yang diucapkan adiknya itu. “Kita harus gimana bang, aku ga mau pindah kesana.. Aku udah betah disini.. Aku ingin tinggal disini aja, ibu juga sudah setuju untuk pergi kesana.. Biarlah mereka saja yang kesana!!” Syifa membenci keputusan ayah.  “Kita liat aja nanti..” jawab abangnya singkat.
            Syifa menelepon ibunya saat ia mengetahui berita ini. “Kriing... Kriiiing.. Kriiing...” Handphone ibu berbunyi. “Halo, Assalamu’alaykum.. Ada apa sayang?” Tanya ibu dengan tenang. “Bu, apa benar ibu setuju pindah ke Singapore?” Resah Syifa. “Iya nak, ibu sangat setuju.. Memang kenapa? Oh iya, ibu minta maaf tadi belum keburu ngasih taunya. Soalnya ada meeting dikantor, maaf ya..” Ujarnya. “Bang, dia aja ga ada waktu untuk memberi tahukan kita, mungkin ibu udah lupa kalo ga ditelepon sama aku”. Sedihnya dan mengeluh kepada abangnya. “Yaudah deh bu, maaf ganggu!” dengan nada yang agak tinggi Syifa menjawabnya, lalu mengakhiri pembicaraannya. 
            Tiba di rumah, Syifa, Fauzi dan Fauzan pergi ke kamar masing-masing dan mengunci kamarnya. Ayah dan ibunya datang kerumah secara bersamaan ingin membicarakan tentang keberangkatan ke Singapore. Ibu dan ayah menuju kamar Syifa, dan pintunya dikunci. “Sayang, buka dong pintunya.. Ibu dan ayah mau bicara dengan kamu sayang.. Ayo buka pintunya” sambil mengetuk pintu. “Bu, aku ga mau pindah dari sini. Walaupun ibu terus memaksa kami, kami tetap tidak mau pergi kesana.. Ibu aja yang pergi kesana dengan ayah! Ibu sudah tidak peduli dengan apa yang kita butuhkan. Ibu selalu tak ada ketika aku membutuhkan ibu. Ayah juga, selalu saja ketika aku membutuhkan sesuatu kepada ayah, ayah selalu sibuk dengan urusan dunia! Ibu, ayah... Aku butuh perhatian dari kalian.. Aku merasa kasih sayang ibu dan ayah kepada kami mulai berkurang saat kalian mendapat pekerjaan baru yang sangat sibuk. Memang, kebutuhanku terpenuhi. Tapi aku rindu seperti dulu. Hidup sederhana kita selalu bersama. Aku hanya ingin kasih sayang. Bukan karena uang”. Panjang lebar dia mengeluh kepada orang tuanya. Ibu dan ayah merasa tidak berdaya lagi ketika Syifa berbicara seperti itu. “Ya Allah, apakah selama ini kami kurang mendidik anak hingga terlepas dengan kasih sayang kami? Ya Allah, maafkan kami.. Kami lalai dalam mendidik dan berbagi kasih sayang bersama keluarga.. Maafkan kami Ya Allah, hingga akhirnya anak-anak kami membenci kami.. Ya Allah...” Ibu menangis tanpa henti, dan ayah sangat terpukul atas keputusannya tidak profesional.
            Fauzi dan Fauzan keluar dari kamarnya dan menghampiri ibu dan ayah. Ibu, ayah.. jangan bersedih.. Maafkan kami jika kami seperti ini kepada ayah dan ibu. Tapi ada benarnya juga kata Syifa, kita rindu dengan kasih sayang ibu dan ayah yang dulu.. Beda banget dengan yang sekarang.. Kita saling menjauh karena urusan kerja yang selalu ada dipikiran ayah dan ibu”. Fauzan menambahkan.

            “Nak... Ayah dan ibu minta maaf yang sebesar-besarnya.. Mungkin yang kami lakukan belum tentu baik dimata kalian, yang selalu mengedepankan pekerjaan daripada kalian.. Kami minta maaf sayang..” Ibu memohon minta maaf kepada Syifa. Syifa akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamar yang tadinya dikunci. “Ibu, ayah.. Sudah jangan menangis, mungkin ini salah kami juga, terlalu ingin diperhatikan.. Tapi, inilah kami yang ingin selalu dekat kalian.. Liat bu, ibu pernah berpikir ga, orang-orang di negeri Palestine yang sekarang yang selalu di jajah dan dikekang oleh tentara kafir itu memohon kepada Allah agar mereka (korban-korban) dipersatukan kembali dengan keluarganya.. Sementara kita, yang hidupnya serba berkecukupan dan seharusnya selalu bersama, ga ada hambatan untuk bertemu.. Kita harus bersyukur bu.. maka dari itu aku sangat rindu dengan pelukan ibu dan kasih sayang ayah..” Mendengar Syifa menangis, ibu pun termenung.
            “Mulai sekarang, ibu akan selalu di dekat kalian.. Seperti dulu lagi, ibu akan berjuang dan mengedepankan kehidupan kalian daripada pekerjaan ibu..” Ibu mulai tersadarkan ketika Syifa menceritakan tentang kehidupan Palestine sekarang. “Ayah juga... Ayah ga akan lembur lagi kecuali kalian izinkan.. maafkan ayah juga ya nak...”
            Ayah, ibu, Syifa, Fauzi dan Fauzan saling berpelukan. Karena orang tua seharusnya mengetahui apa yang diinginkan oleh anaknya. Entah itu kasih sayang dan ketulusan yang diberikan kepada anaknya. Mereka memang perlu didikan orang tua. Hasil survey, banyak kejadian yang seperti ini. Orang tuanya hanya memberikan uang untuk memenuhi kebutuhannya, sedangkan kasih sayangnya tidak ada. Padahal anak-anak merindukannya.
            Dan akhirnya, mereka hidup bersama dan selalu ada bagi anak-anaknya. Kasih sayang yang di rindukannya selama bertahun-tahun, disinilah mereka menemukan kerinduan kembali. “Alhamdulillah Ya Allah.. Aku bersyukur keluargaku bersatu kembali.. semoga kita bersatu untuk selamanya....” Syifa merasa bahagia atas kasih sayang orang tuanya yang selama ini ia rindukan, menjadi kembali seperti dulu yang selalu bahagia walaupun sederhana.