Jumat, 26 Juni 2015

Indahnya menjemput Ridho Orang Tua dengan Cinta..

Tahun ini, 2015.. Banyak sekali kejadian yang menarik dan berkesan bagi Saya. Kehidupan ini mengajari Saya untuk selalu bermuhasabah. Dari bulan Januari lalu, ketika Saya pulang ke rumah yang ada di Tasikmalaya, Saya dilamar oleh seorang laki-laki, tetapi Saya belum memutuskan lamarannya diterima atau tidak. Saya meminta waktu untuk memikirkannya. Saya tidak menyangka bahwa laki-laki itu membawa orang tua sekaligus untuk menanyakan kesiapan Saya untuk menikah. Lisan tak berucap, hati bergetar. Selalu bertanya-tanya, apakah ini benar? Secepat itukah? Apakah ini sebagian dari Rencana Allah?
Sebelumnya Saya sudah kenal dengan laki-laki itu pada lima tahun yang lalu, ketika  awal masuk SMA. Saya hidup dengan keluarga yang memprioritaskan agama dari pada yang lain, terutama Bapak Saya. Dengan ketegasan orang tua dan cara mendidiknya yang berperilaku demokratis, Bapak dengan ketegasannya namun diselimuti oleh kelembutannya, Mama dengan kekhawatiran (jika terjadi apa-apa) dan kasih sayangnya, membuat Saya sangat bersyukur memiliki keluarga utuh seperti ini.  Saya mempunyai prinsip pacaran setelah menikah, hal itu dibangun sejak Saya masih kelas 2 SMA. Saya berkomitmen untuk tidak pacaran terlebih dahulu, dan menginginkan langsung dilamar serta mempunyai target menikah diusia 22 tahun. Namun, Allah mempunyai rencana indah yang tak terduga. Saat ini Saya berumur 20 tahun dan orang yang melamar Saya adalah 23 tahun, serta sudah memiliki pekerjaan. Sangat tidak menyangka bahwa secepat inikah Saya menikah?  
         Orang tua Saya saat itu benar-benar bingung dan terkejut, baru saja tahun lalu kakak perempuan Saya menikah, kok tahun ini Saya dilamar? Apalagi Saya anak kedua dari dua bersaudara (bungsu). Terdapat pro dan kontra terhadap apa yang terjadi. Bapak Saya menganjurkan menikah diusia muda jika memang sudah mampu untuk menikah dan tidak ada masalah  jika putrinya menikah di saat kuliah. Namun, Mama Saya ketika itu belum setuju  jika Saya menikah di saat kuliah, karena Mama memaparkan kekhawatiran-kekhawatirannya kepada Saya, terutama khawatir jika Saya terganggu kuliahnya. Akhirnya kami sekeluarga berdiskusi tentang hal ini dan mencari jalan keluar yang terbaik. Saya menjelaskan seperti apa sosok laki-laki itu sepengetahuan Saya. Yang Saya ketahui, laki-laki itu berkepribadian baik, bertanggung jawab, dan Saya kagum terhadap dirinya yang shaleh. Lalu Saya merasa ada keunikan pada diri laki-laki itu yang membuat Saya semakin kagum, ketika dirinya mengatakan, “Saya menyukai Shofi, izinkan Saya untuk menikahi Shofi, dan Saya sudah beristikharah”. Bapak bercerita kepada Saya pada saat laki-laki itu datang sebelum lamaran. Bapak baru mengenalinya, sejak saat laki-laki itu menemui orang tua Saya tanpa sepengetahuan Saya. Pada akhirnya, Saya beserta orang tua terus melakukan istikharah, mencari ilham, mencari solusi, dan lain-lain.
Sejujurnya, baru kali ini Saya menemukan laki-laki yang seperti ini., mengungkapkan perasaan “suka” kepada Bapak Saya sendiri. Saya anggap laki-laki itu sangat gentle. Saya tidak mengira bahwa dirinya benar-benar serius dengan Saya. Laki-laki tersebut mempunyai prinsip yang sama dengan Saya, yaitu pacaran setelah menikah. Saya yakin, dirinya dapat menjaga diri, mempunyai konsep diri yang jelas, dan sangat hebat bahwa dirinya sudah meyakinkan orang tua Saya untuk menikah di tahun ini. Saya juga mengetahui bahwa sukarnya menghadap kepada orang tua perempuan pada zaman sekarang, apalagi Saya masih kuliah, tetapi tidak untuk laki-laki itu. Saya merasakan ada banyak jalan untuk menempuh ikatan yang suci itu. Setelah keluarga kami meminta waktu untuk memutuskannya, tiba-tiba Mama luluh atas kedatangan seorang laki-laki itu dengan niat baiknya, dan Saya pun merasa terdapat keyakinan bahwa Saya akan menikah dengannya, akan dibimbing olehnya, dan akan menjadi teman sejatinya di saat suka dan duka.  
Teringat apa yang telah dikatakan oleh dosen mata kuliah Dasar-dasar BK Keluarga (Ibu Dr. Hj. Euis Farida, M.Pd.) bahwa menikah itu lebih baik bukan didasarkan ‘nikahin aja, daripada zina’, padahal menikah itu untuk memelihara, menyempurnakan, dan pengabdian. Bukan ada ‘daripada’nya. Menikah itu tergantung dari kesiapan dan kematangan mental dan fisik untuk membangun keluarga, dan faktor ekonomi pun berpengaruh untuk kelangsungan hidup keluarga. Dalam hadits, seseorang bertanya kepada Hasan al-Bashri: “Saya memiliki seorang putri yang telah menginjak usia nikah, sudah banyak orang yang melamarnya, kepada siapakah saya harus menikahkannya?”. Hasan menjawab: “Nikahkanlah dia dengan seorang yang takut kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya, sebab kalau dia mencintainya maka dia akan memuliakannya dan apabila dia marah maka dia tidak akan menzholiminya”.
Hadits tersebut berpandangan bahwa jika ada yang melamar, dan orang yang melamarnya itu berkepribadian baik dan shaleh, maka terimalah, sebelum menyesal di kemudian hari. Orang baik akan selalu membuat orang yang di sekitarnya bahagia, insyaAllah.
Setelah kami mendiskusikan jauh-jauh hari mengenai hal ini dengan keluarga besar, insyaAllah kami melaksanakan akad dan resepsi pernikahan setelah keponakan Saya menikah di bulan Juli tahun ini. Alhamdulillah kami mendapat jalan keluarnya dan itu adalah kami menerima lamaran tersebut. Tiga minggu kemudian, kami sekeluarga berniat untuk bersilaturrahmi dan memberikan keputusan atas lamaran itu. Bukannya Saya yang menginginkan menikah cepat, tetapi Allah yang menggerakkan hati Saya untuk menyempurnakan setengah agama sekaligus berusaha menjadi lebih baik untuk tabungan orang tua dan pastinya membahagiakan mereka kelak. Memang kita tak dapat mengelak ketentuan-Nya. Akhirnya, detik-detik lamaran itu terselesaikan. Barulah dirinya memberikan cincin emas putih yang bercorak love kepada Saya.
Saya terkejut ketika Mama menjadi semangat mengurus persiapan pernikahan untuk bulan-bulan yang akan datang. Sebelumnya, Mama merasa khawatir dan belum setuju untuk menikahkan Saya, tetapi setelah dilalui akhirnya Mama ridho, dan akan memiliki 4 orang anak. Hikmahnya, orang tua Saya menjadi ridho dan menerima calon menantunya karena sifat baik yang dimiliki oleh laki-laki tersebut. InsyaAllah jika berjodoh, akan sampai pada pelaminan, jika tidak, mungkin Allah mempersiapkan seseorang yang terbaik untuk Saya. Jodoh itu kalau sudah merasa pas di hati, lanjutkanlah ke jenjang yang lebih serius. Jadilah orang yang selektif dalam memilih. Apalagi teman hidup yang selalu mendampingi kita.
Kisah yang mengharukan juga, Alhamdulillah Saya mendapat beasiswa dari Pemprov. Jawa Barat pada tahun ini, padahal Saya mengajukan data-data beasiswa ketika tahun lalu ke Pemprov. Jawa Barat. Saya kira, Saya tidak mendapat beasiswa tersebut, namun di sela-sela hari yang penuh dengan kebimbangan, Allah menghadirkan kuasa-Nya yang tak terkira. Saya yakin ini adalah bagian dari rencana Allah dan pertanda Saya harus banyak bersyukur. Orang tua pun menangis haru dan syukuran ketika mendengar Saya mendapat beasiswa.  
Saya merasakan bahwa orang tua Saya memiliki sifat demokratis. Sebagaimana dijelaskan oleh Rif’an (2013, hlm. 66) bahwa tipe orang tua bisa bermacam-macam. Pertama, ada orang tua yang punya karakter demokratis. Ini seringkali berasal dari kalangan berpendidikan. Untuk menghadapi orang tua seperti ini perlu adanya dialog dengan logika yang baik. Ceritakan bagaimana kondisi saat ini di mana perilaku seks di kalangan anak muda yang sudah sangat memprihatinkan. Ceritakan kisah-kisah pernikahan yang sukses dilakukan oleh beberapa orang besar yang ternyata tidak menghalangi mereka untuk meraih prestasi yang tinggi. Kedua, tipe orang tua yang agamanya cukup baik. Untuk menghadapi orang tua dengan karakter ini, insyaAllah akan lebih mudah, karena mereka menyadari bahwa menikah adalah salah satu ibadah yang sangat dianjurkan oleh Islam. Ketiga, tipe orang tua yang teguh dengan pendapat pribadinya dan senantiasa menganggap anaknya sebagai anak kecil yang belum mampu berpikir logis. Mereka sulit percaya bahwa anaknya bisa menjangkau pemikiran yang baik untuk masa depannya. Untuk menghadapi orang tua seperti ini, ajaklah orang-orang yang selama ini disegani oleh orang tua untuk menjelaskan tentang keinginan menikah, misalnya tokoh masyarakat, kakek, nenek, dan orang yang disegani oleh orang tua. Ceritakan tentang manfaat nikah di usia muda dan bahaya-bahaya yang bisa ditimbulkan akibat menunda pernikahan”. Inilah ungkapan dari penulis yang pro terhadap menikah di usia muda dan memberikan tips-tips untuk menghadapi orang tua ketika berkeinginan untuk menikah.     

Referensi :
Hadits Hasan al-Bashri.

Rif’an, Ahmad Rifa’i. (2013). Nikah Muda, Siapa Takut?. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. 

Deskripsi Diri berdasarkan Teori Psikoanalisis

Saya adalah anak kedua dari dua bersaudara (bungsu), Bapak dan Ibu Saya bekerja sebagai PNS. Kami tinggal di Tasikmalaya. Terkadang ketika Saya masih kecil, Saya dititipkan kepada santri-santri yang bersekolah di Yayasan berdekatan dengan rumah Saya, orang tua berangkat kerja. Entah apa yang Saya rasakan dulu, sejak umur 3 tahun pun Saya sudah memakai kerudung. Walaupun tidak menutup seluruhnya karena masih kecil. Hingga beberapa tahun kemudian, semasa TK, Saya terbiasa berkerudung. Kami sekeluarga sempat pindah ke Indramayu yang memang agak jauh dari kota. Sewaktu SD di Indramayu, siswa yang berkerudung itu hanya Saya di kelas, sampai-sampai ketika kelas 4, Saya sempat membuka kerudung ketika bersekolah karena gerah dan masih labil. Ketika orang tua tahu bahwa Saya melepaskan kerudung, Saya dinasehati. “Wanita harus menutup aurat” ujar Ibu. Saya dulu belum tahu betul tentang larangan, kewajiban, dan lain-lain sebagai wanita. Semasa kecil, Saya selalu diajarkan tentang keagamaan dan bersosialisasi dengan tetangga. Selama Saya SD, yang terkenang sampai sekarang itu adalah Saya belajar hidup sederhana layaknya seperti orang lain di sana, meskipun banyak orang-orang petani, pada dasarnya mereka kaya, mempunyai banyak sawah, namun masih banyak juga teman-teman bahkan tetangga yang memerlukan bantuan (superiority), Saya kagum kepada mereka yang tetap tersenyum dan menikmati masa hidupnya. Terkadang saya diajak ke sawah dan sungai oleh teman. Memang sangat berbeda keadaan di perkampungan dan perkotaan. Awalnya ketika pindah ke Indramayu, Saya tidak betah dan selalu ingin pindah ke Tasik lagi. Namun, karena ini adalah tuntutan pekerjaan orang tua, Saya mengikuti saja. Saya melanjutkan sekolah menengah di Tasik, Saya sejak SMP tinggal bersama nenek dan kakak perempuan Saya.
            Awal SMP, perjalanan ketika kelas 7, bisa dihitung Saya pindah sekolah dua kali. Pertama Saya di pesantren Amanah Tasikmalaya, Saya memiliki perilaku yang kurang bagus, tidak masuk sekolah beberapa hari dan sering sakit, mungkin belum terbiasa jauh dengan orang tua Saya sehingga Saya ingin pulang dan bertemu dengan orang tua. Lalu saya pindah ke SMPN 11 Tasikmalaya, bahkan di sana Saya hanya bersekolah dua minggu saja, karena tidak betah juga. Dan yang terakhir Saya bersekolah di SMP Al Muttaqin Tasikmalaya, saat itu Saya harus mengejar ketertinggalan belajar selama kelas 7. Alhamdulillah masih bisa terbantu, Saya ingat ketika dibimbing oleh ibu Lia yang tidak lelah mengajari Saya selama di luar jam kelas hanya untuk memberikan ajaran yang sudah tertinggal. Pada saat beberapa bulan kemudian, Saya merasakan tidak betah lagi, fullday school yang pulangnya sore terus, Saya agak sulit untuk beradaptasi sehingga membutuhkan waktu yang lama. Kelas 8 Saya berkomunikasi dengan Bapak Saya melalui telepon, bahwa Saya tidak betah berada di lingkungan seperti ini. Ternyata, mungkin Bapakku merasa terpukul atau sedih atas apa yang Saya lakukan selama ini, sehingga Bapak membuat pesan kurang lebih seperti ini, “Bapak sudah lelah dan tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk anakku”. Saat itu Saya menangis dengan kencang. Dilema antara tidak betah dan ingin mempertahankan diri untuk bersekolah di sini, orang tua saya sudah berusaha menyekolahkan Saya, menginginkan Saya cerdas, namun apa yang Saya lakukan selama ini? Terkesan hanya membuang uang orang tua saja. Dulu Saya ingin bersekolah di SMP Negeri, tapi Saya ditakdirkan di sekolah swasta. Saya ingat, waktu itu di SMP Saya akan ada acara ESQ 165, Saya tertarik ingin mengikuti kegiatan tersebut dan pada akhirnya Saya diizinkan oleh orang tua. Setelah Saya mengikuti Training ESQ 165 (bukan promosi), Saya merasa banyak sekali dosa yang telah kuperbuat, terutama ketidak konsistenan belajar Saya. Pola pikir Saya terbuka bahwa islam itu indah. Saya melakukan training selama dua hari. Dan hasilnya Alhamdulillah.. Saya berkeinginan berubah menjadi lebih baik. Akhirnya Saya pun sadar, Saya tidak boleh seperti ini terus. Saya harus bangkit. Dorongan-dorongan seperti itu Saya yakini bahwa Saya akan betah bersekolah di sini sampai tamat SMP. Ketika Saya menyadari satu hal, Saya menjadi menyadari banyak hal pada masa SMP. Saya ingat ketika masa SD dulu, teman-teman SD sangat ramah dan sering mengajak ke alam bebas, di Indramayu juga Saya belajar bagaimana menghargai orang lain, sopan santun, saling membantu dan berbagi, dan lain-lain. Pikiran-pikiran itu Saya terapkan pada saat SMP di sini, bedanya di perkotaan itu biasanya anak sekolah kebanyakan bergaul dengan yang kaya, kurang bersosialisasi dengan tetangganya, dan terkesan manja. Namun memang tidak semua orang seperti itu. Saya ketika SMP sudah dapat berhemat, uang jajan masih terkumpul, tetapi jika belanja dengan orang tua Saya, Saya mengambil banyak keinginan (tidak memakai uang sendiri, curangnya). Tidak terasa sudah menjelang UN SMP, Saya mempunyai kepuasan tersendiri bahwa Saya berhasil beradaptasi di sekolah ini, Saya betah, Saya senang berada di lingkungan islami ini. Banyak pembelajaran-pembelajaran yang tak terduga membuatku sadar. Entah itu id dan ego Saya yang membuatku ingin pulang atau bertemu dengan orang tua Saya sehingga sekolah terbengkalai, namun karena super ego yang membuat Saya sadar bahwa Saya harus dapat beradaptasi agar Saya mempunyai pribadi sehat, Saya merasa lebih baik daripada sebelumnya.
            Terpikir bahwa Saya ingin melanjutkan SMA di Al Muttaqin lagi. Saya sudah terlanjur betah bersekolah di SMA ini, walaupun tetap fullday school dan berdekatan dengan SMP Saya (SMP-SMA Al Muttaqin lokasinya berhadap-hadapan). Alhamdulillah, Saya masuk SMA ini tanpa tes tulis, Saya sangat bersyukur pula sahabat Saya juga mengalami hal yang sama. Guru-guru di SMA pun sangat ramah dan dapat dijadikan teman. Pada saat itu Saya dekat dengan guru-guru. Berjalannya waktu, Saya sudah terbiasa dekat dan berinteraksi dengan teman, guru, bibi-bibi yang ada di dapur, petugas TU, pramubakti, dan satpam pun Saya kenal. Ketika pulang sekolah, sore hari, Saya sempatkan main ke sawah di belakang sekolah, sangat sejuk. Melihat keindahan alam, mengingatkanku pada Penciptanya. Sejak SMA, Saya mengikuti beberapa organisasi. Sampai-sampai Saya pernah dijuluki “organisator” oleh wali kelas Saya. Karena Saya ingin menambah pengetahuan dan pengalaman Saya di luar sekolah, Saya mengikuti organisasi IPOSISTAS (Ikatan Pelajar Osis Tasikmalaya) dan IPMT (Ikatan Pelajar Muslim Tasikmalaya”. Yang Saya pahami pada diri Saya, Saya tipe orang yang ringan kerja namun kurang dalam public speaking, karena malu. Saya menyadari bahwa Saya bukan tipe pemimpin, tetapi Saya adalah tipe yang kerja sesuai intruksi. Saya belajar tentang diri Saya bukan hanya di sekolah dan rumah saja, namun pada saat berorganisasi juga Saya sedikit mengenal tentang kinerja Saya. Saya bersyukur, orang tua pindah kembali ke Tasik ketika Saya SMA. Di sini, untuk dapat wawasan yang luas tentang islam itu bukan hanya didapatkan melalui keluarga dan mentoring keagamaan sekolah saja, tetapi juga dari hukum alam, kejadian-kejadian yang dapat kita ambil hikmahnya. Karena Allah memberikan jalan bukan hanya pada satu jalur, tetapi banyak jalan menuju cahaya-Nya, tergantung orangnya yang mau berpikir atau tidak.
            SMA adalah masa yang indah dari masa sebelumnya. Di mana kedewasaan itu muncul, sudah saatnya berpikir ke depan, mempunyai motivasi belajar yang tinggi, dan inilah yang Saya alami ketika SMA itu. Saya memiliki hobi membaca, menulis, dan memasak. Memang banyak rintangannya, namun tidak ada kemungkinan kita mengalami keterpurukan yang berarti. Saya pernah gagal dalam membuat tulisan, Saya pernah tak mampu baca hingga tamat, Saya pun pernah gagal hingga gosong dalam memasak. Saya bertipe Melankolis-Sanguinis, banyak sekali yang mendefinisikan bahwa Melankolis-Sanguinis itu lembut, pemaaf, perfeksionis, perasa, penyabar, kurang tegas, dan lain-lain. Ya Saya merasakan kriteria tersebut ada dalam diri Saya, namun ambil baiknya dan buanglah yang buruknya. Lalu Saya berpikir bahwa Saya ingin sekali membuat orang tua Saya bangga dan bersyukur atas hadirnya Saya di dunia ini. Karena Saya senang menulis, Saya memulai dunia baru, yaitu dunia “Blog”. Saya mempunyai blog (shofigibraltar.blogspot.com), di situ Saya menulis apa saja. Dari mulai pengalaman pribadi, muhasabah, dan lain-lain. Karena Saya mempunyai kelemahan bahwa Saya belum bisa berbicara di depan orang banyak, namun Saya optimalkan sebisa Saya untuk berprestasi di bidang kepenulisan atau sastra. Saya ditawarkan mengikuti lomba Blog se-Priangan Timur di Universitas Siliwangi, pesertanya satu grup itu dua orang. Pada saat lomba Blog yang Alhamdulillah-nya Saya dan kakak kelas Saya yang bernama Teh Abil menjuarai peringkat ke-2. Grup ketiga besar harus presentasi di depan media. Saya pun nervous ketika dilihat orang banyak, Saya benar-benar gugup dan agak blank saat itu. Karena Saya terbiasa dengan menulis, apa yang dikatakan atau ungkapkan, Saya lebih baik menulis daripada mengatakannya secara langsung, Alhamdulillah waktu-waktu itu sudah terlewati. Di sini Saya mempunyai ego kreatif yang ada di dalam teori Erikson.
            Lambat laun Saya menyukai dunia psikologi. Dulu Saya memahaminya ilmu jiwa, Saya sangat suka. Berinteraksi dengan guru BK Saya yang bernama Pak Iwan Irawan yang lulusan dari BK UPI. Dari itulah Saya dibimbing mengenai motivasi belajar, gaya belajar, dan lain-lain. Saya jika belajar itu tidak betah kalau diam atau duduk terlalu lama. Kebiasaan Saya ketika belajar sering menggerak-gerakkan pulpen, dan tangan Saya tidak bisa diam. Saya lebih suka melepas diri ketika penat, lari ke alam bebas, karena Saya sangat suka kehangatan dunia, keindahan dunia, kedamaian dunia. Teringat pada Penciptanya, bahwa kita adalah makhluk yang kecil, apalah kita dibanding dengan gunung-gunung? Apalah arti kita dibanding luasnya lautan? Pikiranku pun terbuka kembali, saat Saya membaca buku “Deep Thinking” oleh Harun Yahya. Saya terinspirasi oleh beliau. Indahnya jika kita merenungi apa-apa yang sedang berjalan di bumi ini, dari hal yang terkecil sekalipun. Saya ingin menjadi penulis seperti beliau. Tetapi Saya ingin fokus ke sastra. Saya mendefinisikan bahwa sastra adalah ungkapan tertulis seseorang yang mempunyai makna terdalam dan unik. Saya menggeluti sastra semasa SMA. Saya sering diejek oleh teman Saya, bahwa perkataan dan tulisan Saya tidak dimengerti oleh orang lain. Anggapan Saya adalah sastra itu unik, mempunyai ciri khas nya sendiri, yang hanya dimengerti oleh pembuatnya, itu saja. Seperti yang sering ditanyakan adalah kata ‘ndak’ (tidak), ‘kek’ (seperti), dan ‘pengin’ (ingin) itu adalah bahasa sastra. Ketika Saya diejek, Saya turut diam saja, Saya kurang tegas, ketika marah pun Saya menangis, kadang Saya tak mengerti mengenai diri Saya. Teman-teman bilang bahwa Saya orangnya sangat lembut sehingga mudah untuk menangis, dan Saya memang tak ingin menambah masalah dan Saya fokus pada satu itu, yang penting Saya dapat berkreasi seutuhnya, mengekspresikannya melalui tulisan. Di sini juga Saya mempunyai ego kreatif yang ada di dalam teori Erikson.
            Tibalah masa SNMPTN, ini adalah pilihan yang membuatku bimbang, dan Saya harus memutuskan dengan yakin atas pilihan Saya. Saya mengisi PDSS dan mendaftar ketika SNMPTN dibuka, Saya memutuskan untuk memilih hanya satu pilihan universitas. Walaupun terdapat tiga kolom untuk memenuhi pilihan kedua dan ketiga, namun Saya bingung yang kedua harus memilih apa, tadinya Saya ingin memasukkan Pend. Bhs. Indonesia sebagai yang kedua, namun Saya cemas, takut keterimanya di pilihan kedua yang masih setengah yakin, pada akhirnya Saya yakin pada BK – UPI saja. Saya bertekad dan tawakkal setelah Saya memilih hanya BK dalam kolom itu. Beberapa hari kemudian, Alhamdulillah Saya diterima di BK – UPI ini. Ini salah satu pertanda bahwa Allah tak pernah menyia-nyiakan hamba-Nya, dan Saya ingin menjadi lebih baik ke depannya.  
            Masa kuliah memang sangat berbeda. Di sini Saya belajar arti hidup sebenarnya. Bahwa kita adalah makhluk sosial dan saling membutuhkan. Di sini juga Saya belajar untuk lebih memberanikan diri tampil optimal di depan, budaya PPB pada perkuliahan adalah presentasi, adanya presentasi agar kita lebih terbiasa berbicara di depan umum dan menumbuhkan rasa percaya diri. Di sisi lain terkadang diamnya Saya adalah berpikir dan merenung. Merenungkan apa saja yang Saya lihat dan rasakan. Ya Saya pernah dibilang oleh teman jangan melamun, jangan diam saja, dan lain-lain (introvert). Mungkin Saya juga butuh masa adaptasi dengan lingkungan, sedikit demi sedikit Saya berinteraksi dengan yang lain. Menurut Erikson, sikap compulsiveness yaitu sikap yang dibawa oleh rasa malu dan ragu berlebih. Saya memang mempunyai sifat itu, selalu ingin sempurna, namun Saya juga harus realistis, mengerjakan sesuai kemampuan Saya  sendiri, dan Saya sadar betul bahwa manusia tidak ada yang sempurna. Orang yang hebat adalah orang yang mengetahui kelemahan dan kelebihan dirinya. Saya mulai mengerti bahwa manusia itu unik dengan segala kepribadiannya dan beragam. Ada yang pendiam, hiperaktif, dan biasa-biasa saja. Saya berhati-hati dalam memilih sahabat. Apapun yang Saya lakukan, yang membuat Saya lambat (ujar salah satu teman) adalah kehati-hatian Saya. Saya mengetahui kemampuan Saya sampai di mana, mungkin Saya adalah orang yang sangat berhati-hati, hingga berjalan, makan, dan apapun Saya tetap berhati-hati. Peristiwa ini berkaitan dengan Determinisme Psikis dan Motivasi tak Sadar, teori Psikoanalisis Freud.
Saya berkebiasaan berpikir sebelum bertindak dan taat pada peraturan. Ini yang sering Saya alami. Pemikiran-pemikiran tersebut menjadi lebih berkembang seiring berjalannya waktu. Untuk memulai sesuatu, Saya merencanakan sebaik-baiknya, Saya memikirkan harus bagaimana dahulu, bagaimana cara mengkomunikasikannya sehingga tidak salah langkah dan bagaimana ke depannya, bermanfaat atau tidak, efektif atau tidak, dan lain-lain. Mungkin menurut orang lain, cara Saya seperti ini adalah buang waktu dan terlalu perfeksionis, namun Saya memang orang yang mempersiapkan sesuatu dari awal, merencanakan sesuatu dari awal, jika ada peraturan tertentu sebisa mungkin  Saya turuti sesuai kesanggupan, namun kelemahan Saya, ketika rencana Saya tidak terlaksana, terkadang Saya agak sukar untuk memperbaiki atau mencari plan B. Dan Saya selalu mengusahakan menyelesaikan masalah atau sesuatu sampai ke akar. Saya mempunyai pemikiran bahwa lebih baik mendengarkan daripada berbicara, mendengarkan ketika orang lain ingin curhat, sampai dia selesai berbicara, Saya berusaha untuk memahami apa yang dia katakan dan rasakan, bahkan pikirkan. Di organisasi HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) PPB, setiap ada evaluasi acara, pasti ada agenda katarsis. Di sana kita meluapkan emosi yang pernah dialami, maupun pada peristiwa traumatik yang seolah-olah teringat atau terungkit kembali. Satu persatu pengurus diluangkan untuk katarsis. Di awal kepengurusan, Saya merasa bingung apa arti katarsis itu, lalu dijelaskanlah oleh salah satu pengurus yang sudah berpengalaman di HMJ. Ketika itu, Saya memulai katarsis, dan setelah itu Saya merasa lega atas apa yang Saya luapkan, dan memang katarsis itu jika luapkan segala emosi, akan merasa tenang.
            Masa inilah Saya dekat dengan seorang pria. Dia baik, penuh perhatian, shaleh. Saya tertarik padanya. Namun Saya mempunyai prinsip bahwa Saya tidak ingin pacaran. Saya mempertahankan diri untuk ingin pacaran setelah menikah, pemikiran Saya hanya menikah dan akan mempersembahkan pada orang yang  tepat. Masa kuliah, perasaan pun berbeda. Saya memulai merasakan ingin dijaga, ingin diperhatikan oleh seseorang. Ya dulunya Saya memang pernah jatuh cinta, namun Saya ingin bangun cinta, pada cinta yang sejati, yang hakiki. Terakhir Saya akan membahas tentang cinta. Walaupun Psikoanalisis merujuk pada seksualitas, Saya menyadari betul bahwa ini adalah manusiawi, yang perlu diperhatikan adalah menyalurkannya. Menuju jalan yang benar atau yang tidak benar, yang haq atau bathil. Saya memegang pada prinsip Islam. Rasa suka memang fitrah, semua orang berhak merasakannya. Januari lalu, Saya mempunyai peristiwa traumatik, bagaimana caranya, bertanya-tanya mengapa seperti ini? Secepat inikah?, orang yang Saya sukai itu tiba-tiba mendatangi orang tua Saya di Tasikmalaya. Dia benar-benar ingin serius dengan Saya dengan cara mengatakannya kepada orang tua Saya. Ini adalah pembelajaran Saya untuk memikirkan dengan matang apakah Saya nanti akan menerima dirinya? Jika iya, bisa jadi pria tersebut menikahi Saya ketika Saya masih kuliah. Saya pun memutuskan untuk bertanya-tanya, berkonsultasi kepada orang yang sudah menikah pada saat kuliah, dan khususnya istikharah serta selalu memperbaiki diri untuk masa depan yang lebih baik. (Hal ini berkenaan dengan Pembentukan Reaksi yang penggantian sikap dan tingkah laku dengan sikap dan tingkah laku yang berlawanan).
            Walaupun Saya bertubuh mungil, tetapi Saya tidak lepas bersyukur pada-Nya. Memberikan takdir yang luar biasa dan semoga dengan pengalaman ini Saya menjadi lebih dewasa dalam menjalani kehidupan. Saya tahu bahwa mengatur kehidupan rumah tangga tidaklah mudah, namun Saya ingin mencoba dan membayangkan seakan-akan Saya sudah berkeluarga dan mempunyai persoalan yang harus dihadapi, nanti Saya harus bertindak apa dan bagaimana jalan keluarnya. Bahkan berkeluarga yaitu menyatukan dua karakter yang berbeda. Jadi Saya harus memikirkan dan menghadapi perbedaan karakter tersebut agar menjadi satu visi dan misi, sehingga terbentuklah keluarga yang senantiasa selalu bersyukur dan tidak lupa untuk terus memperbaiki diri. Saya adalah orang yang dapat dikatakan mudah menyerah, namun kejadian-kejadian ini menjadikan Saya sebuah motivasi agar Saya dapat berkembang menjadi lebih baik lagi. Inilah peristiwa yang berkaitan dengan Dinamika Kepribadian pada Instink hidup dan adanya kecemasan di dalamnya.

            Dalam instink mati pun demikian, Saya selama ingat ingin menikah, ada dorongan-dorongan ingin menikah karena usia Saya tidak tahu sampai kapan, karena diri ini adalah makhluk yang berdosa tetapi menginginkan masuk Syurga-Nya, jadi Saya optimalkan ingin menikah sedini mungkin. Mempersiapkan kematian dengan menyempurnakan setengah agama, berbakti pada orang tua dan pasangan, serta memperbaiki diri pada intinya.