Namaku Anis. Aku seorang siswi SMA. Setiap hari aku sering bermain dengan berbagai macam pena. Atau bisa ditambah dengan spidol dan alat tulis lainnya. Aku gemar sekali menulis dan membaca novel. Sangat seru bila disatukan dengan sebuah diary kecil yang selalu dibawa kemanapun aku pergi. Aku selalu menulis berbagai kejadian atau bisa juga dengan asyik menggambarkan sesuatu didalamnya. Terasa sepi bila tidak ada sehelai kertas dan satu buah pena.
Suatu hari, aku pergi kesekolah menaiki sepeda. Di depan sepedaku ada keranjang untuk menyimpan sesuatu. Di situlah aku menyimpan sebuah pena unik yang berwarna pink. Seragamku yang agak lebar dan panjang, membuatku nyaman saat kunaiki sebuah sepeda pemberian ayahku. Tapi, ayahku kini sudah tiada. 5 tahun yang lalu ayahku kecelakaan dan dibawa ke rumah sakit akhirnya tak bisa ditolong lagi. Karena sepeda ini pemberian ayahku yang terakhir, aku tidak mau menyia-nyiakan waktuku dengan sepeda ini. Begitu juga pena, aku sangat suka dengan pena berwarna pink. Dan tidak lupa untuk menulis dengan pena itu.
Di kelas, aku menulis suatu kejadian yang sangat menyenangkan. Saat itu aku bertemu dengan kak Rendy. Dan kak Rendy menyapaku.
“Anis... Lagi apa? Kok sendirian sih di kelas? Mending ke kantin yuk bareng kakak.” Rendy mengajaknya ke kantin.
“Maaf kak, aku lagi nulis. Lain kali aja ya..” Anis kelihatan sibuk menulis.
“Yasudah, lain kali aja ya.. Maaf kalau kakak ganggu.” Rendy pergi.
Diluar kelas, temannya sedang melihat Aku dan kak Rendy di kelas berdua. Mereka sangat ilfiel denganku. Apa yang aku lakukan, selalu saja membuat mereka marah kepadaku. Dan Rani, orang yang sangat membenciku diantara sekelas. Padahal aku tidak melakukan apapun terhadap mereka, bahkan aku menyayangi mereka. Mereka menghampiriku saat kak Rendy keluar dari kelasku.
“Heh... Nis, Lagi apa lo dekat-dekat sama kak Rendy? Berdua segala di kelas!” Kesal mereka.
“Aku ga lagi apa-apa kok, ya kebetulan aja dia ke kelas ini. Dia kan ga bermaksud apa-apa..” Jawabku dengan cuek.
Mereka merebut penaku dari tanganku. Aku sangat kesal.
“Hei! Kembalikan pena itu!” Aku berusaha mengambil pena itu dari tangan temanku.
“Eits.. Kenapa sih pena ini sangat berarti buat lo? Lo cinta sama pena ini? Ah mending gue buang pena ga berguna ini. Oh iya, mendingan diapain ya pena ini? Dipatahin aja deh biar dia kehilangan pena itu.” Kata Rani sambil mematahkan penaku.
“Rani! Awas kamu! Jangan patahkan pena itu (sambil menangis), itu pena kesayanganku! Raaaani!!” Aku berteriak saat ia mematahkan penaku.
Kak Rendy menghampiriku saat kuberteriak dengan kencangnya.
“Ada apa ini?! Kenapa kamu menangis Anis?” Khawatirnya.
“Ini lho kak, dia menangis gara-gara gue matahin pena kesayangannya itu. Dasar cengeng lo!” Menyambung si Rani dan menghinaku.
“Udah Ran! Lo bikin kacau semuanya! Lo punya hati ga sih?” Rendy marah.
“Abis kak, dia nyebelin banget sih. Dia kan....”
Rendy memotong perkataan Rani.
“Eh yang ada elu yang lebih nyebelin!” Kesalnya.
“Kok kakak gitu sih sama gue.. Bukannya membela gue malah membela anak sialan ini!”
Aku terus menangis. Mereka malah berantem di depanku.
“Udah Nis.. Jangan nangis lagi. Eh Ran (jengkelnya kepada Rani), ngapain gue ngebelain lu yang udah nyakitin orang, ga punya hati banget sih, gue lebih sebal sama lu ketimbang teman-teman lu itu! Elu kan provokatornya!, dasar wanita busuk!”
“Kak Rendy tega banget sih sama Rani! Sakit hati gue!” Rani segera pergi dari kelasnya.
“Rani! Gimana dengan penaku!!!!!!!!?” Akupun lemas pada saat itu.
“Sudah Ran.. Pena ini udah patah, kita ganti aja ya penanya..” Rendy menenangkanku.
“Kakak tau ga sih, itu pena kesayanganku! Aku merawatnya dengan sepenuh hatiku. Tapi sekarang, pena itu sudah tidak aku pakai menulis lagi. Padahal pena itu sangat indah..” Sedihku.
“Hmmm... Berat juga ya, meninggalkan barang yang kita sayangi. Atau gini aja, Kita membeli pena baru di toko khusus. Kita beli pena yang warnanya sama dengan penamu yang patah itu..” Rendy mengeluarkan ide cemerlang.
“Tapi kak, apa nanti aku nyaman menulis dengan pena itu?” Akupun cemas.
“Pasti nyaman kok.. Percaya deh sama kakak..”
Aku tersenyum, dan masih mengingatkan kejadian tadi.
“Kakak tega banget sama Rani nyampe bilang wanita busuk, kan kasian kalo dia digituin..” Aku merasa kasihan.
“Kenapa kamu kasihan sama dia? Jelas-jelas dia udah bikin kamu nangis, mematahkan pena kesayanganmu juga. Tapi, maaf deh.. Karena tadi kakak tuh lagi emosi sama dia. Kelakuan dia tuh lebih kejam dari penjahat pembunuhan.”
“Yasudah deh. Kita berangkan sekarang aja. Aku ingin cepat-cepat menulis.” Aku tergesa-gesa untuk membeli pena itu.
Di toko khusus, terdapat banyak pena yang indah. Rasanya aku ingin membeli pena semuanya. Tetapi aku tidak mampu untuk membeli semuanya.
“Rasanya kamu suka sama beberapa macam pena ini ya?” Rendy membawa pena yang aku inginkan.
“Kakak tau aja hehe.. Suka sih.. Tapi uangku tidak cukup untuk membelinya.” Akupun mengeluh.
“Kalo kamu suka, kakak beliin deh..” Sambil membawa pena itu kepada kasir.
“Tapi kak, ga usah... Ntar uang kakak habis..” Aku menolaknya.
“Ga apa-apa kok.. Ini juga supaya kamu ga kesepian lagi kalo ada pena berbagai macam warna ini, kakak ikhlas kok..”
“Oh, makasih ya kak.. Aku harus menebusnya pake apa untuk menggantikan uang itu...?” Aku bertanya.
“Ga usah di ganti.. Kakak ikhlas kok.. Tenang aja.” Rendy tertawa.
“Hmmm... Makasih ya kak.” Aku ikut tertawa.
“Yuk ah, kita pulang.. Sudah sore nih...” Rendy melihat ke jendela.
Waktu sudah hampir menunjukkan pukul 5 sore. Aku dan kak Rendy pulang kerumahnya masing-masing. Aku senang sekali, aku punya pena berbagai warna yang indah. Ini menunjukkan Allah Maha Indah. Menciptakan benda-benda yang indah sehingga manusia menyayangi sebuah bendanya itu. Dan aku sangat bersemangat untuk lebih giat dan lebih sering menulis dengan pena baru ini. Thnx for all........ J