Selasa, 08 Mei 2018

Tak Perlu Kau Unfriend


Kita semua mempunyai perasaan nyaman dengan orang lain, menyadari bahwa kita harus menikmatinya. Ada saatnya ketika kita memulai hidup yang baru, contohnya pada awal SMP-SMA-kuliah, pasti bertemu dengan orang yang berbeda-beda.

Orang yang kita anggap nyaman, nikmatilah di masa itu.. karena kita tak tahu, orang yang akan kita jumpai di masa depan itu mungkin berbeda.. Saya tidak membicarakan tentang pacaran, namun tentang sahabat yang berubah rasa menjadi ‘suka’. Memang terlalu sulit ketika kita sedang berada pada masa pubertas. Ini berarti pentingnya menghadapi tantangan namun kita tidak meninggalkan zona agama kita. Dimana kita mengharapkan seseorang menjadi pasangan hidup, maka banyak berdoalah.. Terkadang, orang yang tebar pesona akan kalah dengan orang yang pendiam dalam hal mengungkapkan perasaannya.

Hingga akhirnya, terkadang kita tak perlu menjauhkan diri apabila harapan itu pupus. Kita perlu berdoa agar meminta yang lebih baik dan berdoa agar orang yang kita harapkan itu bahagia dengan orang lain. Memang ikhlas tak mudah untuk dirasakan, namun kita memiliki akal sehat bahwa itu sudah kehendak Allah Swt. ada rasa ‘menerima’ apa yang terjadi walaupun pahit, itu dapat dikatakan ikhlas, tapi butuh berteman dengan proses, maka nikmatilah proses itu.

Ada rasa sakit hati, kecewa, marah, dan pada akhirnya unfriend-unfollow-hapus nomor telepon. Ya saya merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain ketika bermove-on dan pasti ada orang yang jika ingin melupakan atau mengikhlaskan seseorang itu perlu unfriend, hapus nomor, dan lain-lain. Menurut saya pribadi, untuk apa? Biarlah ia menjadi kenangan. Tak perlu kau unfriend-unfollow karena mereka pernah membuatmu bahagia. Ingatlah ketika mereka menemani kita saat orang lain menjauh.

Yang digarisbawahi adalah mengikhlaskan ‘rasa suka/cinta’ pada orang tersebut, tak perlu kau unfriend/unfollow mereka. Berhubungan baik dengan orang yang pernah kita sukai adalah kita mulai menerima apa yang terjadi kan? Silaturrahminya dapet, pahala ikhlasnya dapet, motivasi untuk menjadi lebih baiknya dapet. Bukankah begitu? ^_^

Minggu, 11 Maret 2018

Ternyata Menikah pada saat Kuliah itu ………….


Ada saatnya ketika kita selama kuliah dibanjiri dengan pertanyaan “abis kuliah mau kerja di mana? Abis kuliah langsung nikah ya?”. Terlintas, orang tua pasti ingin anaknya sukses dengan mencari-cari pekerjaan yang pantas untuk anaknya. Terkadang ada yang terlupakan, walaupun kita tak boleh berandai-andai, tapi kita harus bisa mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan terjadi pada hari esok agar kita tidak tiba-tiba mengambil langkah yang kurang tepat. Misalnya, ketika orang tua memikirkan cita-cita anaknya pada saat kuliah, apalagi anaknya perempuan gitu yah hehe. Zaman sekarang ada orang yang mengambil langkah pacaran dahulu, perkenalan lebih jauh dahulu, dan lain-lain. Saat ini pun banyak laki-laki yang melamar ketika si perempuannya “masih kuliah”. Orang tua harus tahu bagaimana cara untuk menyikapi kalau-kalau ada yang melamar/anaknya ingin menikah. Saya merasakan apa yang dirasakan orang tua saya ketika ada laki-laki yang melamar saya, pasti bingung, takut, khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan menikah pada saat usia anaknya masih terhitung muda untuk menikah. Saya merasakan ketakutan Mama seperti khawatir dengan menikah muda nanti berujung perceraian, tidak melanjutkan kuliah, atau memilih mengurus anak dahulu sebelum berkuliah (rezekinya punya anak), dan lainnya. Sayapun terkadang memikirkan seperti apa yang Mama pikirkan kok, tapi ya itu kembali lagi kepada kita yang merasakannya nanti. Yang digarisbawahi adalah melihat sosok laki-laki yang melamarnya. Sebelum menyetujui lamaran, pastikan apa yang ditakutkan itu diutarakan kepada si calon suami, seperti kesepakatan bahwa setelah menikah itu kuliah tetap berjalan atau kesepakatan lainnya. Kalau calon suami “meng-iyakan”, itulah insyaaAllah menjadi takdirmu. Paling utama adalah melihat akhlak dan tanggung jawab si calon suami. Yang akhlaknya baik, insyaaAllah hablumminallah dan hablumminannasnya baik.
Kembali lagi, apabila ada laki-laki yang melamarmu pada saat kuliah dan kita menyetujui lamaran itu, kita harus tahu konsekuensi-konsekuensi apa saja yang akan diperoleh, ya harus belajar dari sekarang bagaimana untuk menyikapi persoalan. Contohnya bila sudah menikah, kita (istri) berada di bawah naungan suami £acieee, jadi ke mana-mana atau mengerjakan sesuatu itu istri harus izin dahulu. Buatku, organisasi pada saat bersekolah (SMP-SMA-kuliah) itu sangat menyenangkan, kita bisa dengan mudah berinteraksi dengan teman-teman, bahkan yang berbeda angkatan dan jurusan, namun setelah menikah ya yang saya rasakan sih “perasaan sangat menyenangkan untuk organisasi” itu agak menurun karena ya banyak pertimbangan dan pekerjaan lain yang tidak bisa ditinggalkan. Tapi jangan takut juga bila kita menikah, tingkat pertemanan dengan orang lain menurun. Teman yang baik akan menjaga dan menghargai kita.
Saya di sini ingin berbagi cerita tentang apa yang saya rasakan yaitu menikah ketika kuliah, tidak banyak sih, tapi intinya saja hehe. Saya menjalani pernikahan ini rasanya nano-nano lah yaaa. Haha. Siapa yang mau setelah menikah harus LDR (hubungan jarak jauh)? Tetapi yaaa tahun demi tahun, rintangan demi rintangan harus dijalani, dan sekarang Alhamdulillah, bersyukur kepada Allah, sangat berterima kasih kepada suami, orang tua, keluarga besar, sahabat, dan semua pihak yang mendukung, menemani, dan membantu dalam menyelesaikan studi S-1 Bimbingan dan Konseling ini. Jarak 2,5 tahun LDR dengan suami itu terbayar dengan wisuda. 4,5 tahun perjuangan orang tua dalam doa yang selalu dipanjatkan agar anaknya sukses. Ketakutan-ketakutan orang tua dan saya rasakan dulu, Alhamdulillah sudah dilalui dan terbayar dengan lulusnya diriku dengan status sudah menikah :’). Sekarang, saya ikut suami ke Papua. Jadi ingat waktu dulu sering ngeluh, jauh beneeeeerrrr LDR dengan suami, Bandung-Papua. :’)
Kejadian-kejadian yang ditakutkan bisa saja terjadi, namun tergantung kita untuk menyikapi dan menjalani rintangan tersebut. Apakah kita menyerah? Atau berjuang dalam keterbatasan? (Keterbatasan di sini dimaksudkan LDR yang tidak bisa sepenuhnya bareng-bareng dengan suami, hehe). Ternyata menikah selama kuliah itu tidak menakutkan yang dibayangkan (menurutku). Jadikan proses itu sebagai pendewasaan bagi kita agar menjalaninya lebih sabar, tawakkal, tentunya selalu mengingat Allah, ada Allah setiap langkah kita. Tidak perlu takut, yakinkan pada diri dan serahkan semuanya pada Allah apapun yang terjadi.   
(Ketika kuliah, selalu ada rasa ingin dibantuin mengerjakan tugas kuliah, skripsi, dan lain-lain dengan suami dan pasti ingin selalu dekat dengan suami. Tapi, tantangannya, kita dituntut untuk mandiri. Bersiap-siap aja yaaa, kita dituntut lebih m-a-n-d-i-r-i. Terlebih kalau tantangannya LDR T.T)