“Kamu semakin dewasa saja Nisa”. Itulah perkataan dari orang terdekatku tentang kepribadianku. Meskipun badanku kecil mungil, tapi aku selalu bersyukur kepada Allah. Walaupun aku mempunyai tubuh yang mungil, jangan sampai imanku semakin kecil dan tidak bertambah. Karena aku mengedepankan rohaniku daripada fisikku.
Pada malam hari. Ketika aku pulang dari rumah Fatimah, temanku. Aku menuliskan Diaryku di kertas yang masih putih bersih.
Ya Allah, di kehidupan baru yang hamba sedang jalani ini, jangan biarkan hamba kembali sesat, kembali jauh dari-Mu. Ampuni hamba, ampuni orang tua hamba, dan ampuni semua orang yang hamba sayangi. Ampuni keterbatasan kami dalam mencari ilmu, ampuni keterbatasan kami dalam mengatasi masalah, dan ampuni kami ketika kami lupa diri dan lupa bersyukur. Engkau mengampuni tanpa batas, sebab Engkau Tuhan yang tidak memiliki batas.
Ya Allah, dunia sudah menyilaukan kami. Dunia sudah menjauhkan kami dari diri-Mu. Dunia juga yang telah melalaikan kami dari-Mu. Tetapi kami memang hidup didunia, dan masih berhajat pada dunia. Ya Allah, bimbinglah kami untuk bersikap yang terbaik menurut-Mu di dalam hidup dan kehidupan yang kami jalani.
Ya Allah, pantaskah aku menyukai seseorang yang lebih tua dariku? Aku tak tahu harus bersikap apa terhadapnya. Malu, tak ingin menemui dan tak ingin dia mengetahui tentang perasaanku. Tapi, apakah Engkau meridhoi jika aku mengatakan yang sebenarnya kepada seseorang itu? Bolehkah aku mengatakan sesungguhnya kepada seseorang itu? Aku butuh jawaban dari-Mu..
*Katakanlah
*Jangan
Air mataku jatuh kedasar kertas itu. Kesedihanku membuatku tersiksa merasakannya sejak lama dan tak pernah mengatakan perasaanku. Ternyata, mungkin Allah menjawab pertanyaanku melalui jatuhnya air mataku. Air itu jatuh pada tulisan “Katakanlah”. Apakah itu petunjuk dari Allah? Sehingga aku tak kuasa untuk menahan kepedihan yang aku rasakan selama ini. “Ya Allah, jika ini memang benar petunjuk-Mu dan Engkau meridhoinya, Aku akan mengatakannya” ucapku. Sepertinya tak mungkin aku mengatakannya secara bertemu. Jalan keluarnya adalah SMS. Aku benar-benar malu sebelum berbuat. Apalagi mengatakan yang sebenarnya. Kucoba tuk bersikap lebih tenang dan positive thinking aja.
Pertama, saat aku mengetik SMS hanya mengucapkan
“Assalamu’alaikum” saja.
Tak lama kemudian,
“Wa’alaikumsalam” dia membalas SMS-ku.
Aku bingung harus mengatakan apa kepada dia. “Ya Allah, bantu aku...” Jeritan hatiku. Akhirnya, aku mengatakan tentang perasaanku kepada dia. Tapi awalnya aku hanya bercanda, hehe..
“Apakah itu benar, Nisa?” Tanya Rizal setelah aku mengatakannya.
“Ya begitulah ka. Aku hanya mengatakannya saja. Afwan ya, kalo aku udah lancang bilang seperti ini kepada kakak.. Tapi, aku melihat kepribadian kakak itu unik dan menarik. Apalagi ditambah akhlaq yang bagus, aku semakin terkagum. Tapi aku ga mau terus-terusan memendam dan memikirkannya. Aku ikhlas melepaskan perasaan ini. Karena aku ga mau terjerat dalam cinta yang hanya kepada keduniawian saja. Aku mencintaimu karena Allah....” dalam keadaan menangis aku mengatakannya, lalu aku mematikan handphone-ku setelah itu.
Aku tak mau melihat balasan SMS dari kak Rizal. Entah dia menjawab apa. Tapi yang terpenting, aku sudah mengatakannya dan berusaha untuk memadamkan rasa ini untuknya. “Jika Allah berkehendak kita bersatu, maka kita pasti bersatu. Dan jika Allah berkehendak untuk saling menjauh, maka kita tak akan bisa bersatu. Dan itulah untuk kebaikan kita sendiri” mengatakannya didalam hati sambil menutup mata.
***
Pada malam hari. Ketika aku pulang dari rumah Fatimah, temanku. Aku menuliskan Diaryku di kertas yang masih putih bersih.
Ya Allah, di kehidupan baru yang hamba sedang jalani ini, jangan biarkan hamba kembali sesat, kembali jauh dari-Mu. Ampuni hamba, ampuni orang tua hamba, dan ampuni semua orang yang hamba sayangi. Ampuni keterbatasan kami dalam mencari ilmu, ampuni keterbatasan kami dalam mengatasi masalah, dan ampuni kami ketika kami lupa diri dan lupa bersyukur. Engkau mengampuni tanpa batas, sebab Engkau Tuhan yang tidak memiliki batas.
Ya Allah, dunia sudah menyilaukan kami. Dunia sudah menjauhkan kami dari diri-Mu. Dunia juga yang telah melalaikan kami dari-Mu. Tetapi kami memang hidup didunia, dan masih berhajat pada dunia. Ya Allah, bimbinglah kami untuk bersikap yang terbaik menurut-Mu di dalam hidup dan kehidupan yang kami jalani.
Ya Allah, pantaskah aku menyukai seseorang yang lebih tua dariku? Aku tak tahu harus bersikap apa terhadapnya. Malu, tak ingin menemui dan tak ingin dia mengetahui tentang perasaanku. Tapi, apakah Engkau meridhoi jika aku mengatakan yang sebenarnya kepada seseorang itu? Bolehkah aku mengatakan sesungguhnya kepada seseorang itu? Aku butuh jawaban dari-Mu..
*Katakanlah
*Jangan
Air mataku jatuh kedasar kertas itu. Kesedihanku membuatku tersiksa merasakannya sejak lama dan tak pernah mengatakan perasaanku. Ternyata, mungkin Allah menjawab pertanyaanku melalui jatuhnya air mataku. Air itu jatuh pada tulisan “Katakanlah”. Apakah itu petunjuk dari Allah? Sehingga aku tak kuasa untuk menahan kepedihan yang aku rasakan selama ini. “Ya Allah, jika ini memang benar petunjuk-Mu dan Engkau meridhoinya, Aku akan mengatakannya” ucapku. Sepertinya tak mungkin aku mengatakannya secara bertemu. Jalan keluarnya adalah SMS. Aku benar-benar malu sebelum berbuat. Apalagi mengatakan yang sebenarnya. Kucoba tuk bersikap lebih tenang dan positive thinking aja.
Pertama, saat aku mengetik SMS hanya mengucapkan
“Assalamu’alaikum” saja.
Tak lama kemudian,
“Wa’alaikumsalam” dia membalas SMS-ku.
Aku bingung harus mengatakan apa kepada dia. “Ya Allah, bantu aku...” Jeritan hatiku. Akhirnya, aku mengatakan tentang perasaanku kepada dia. Tapi awalnya aku hanya bercanda, hehe..
“Apakah itu benar, Nisa?” Tanya Rizal setelah aku mengatakannya.
“Ya begitulah ka. Aku hanya mengatakannya saja. Afwan ya, kalo aku udah lancang bilang seperti ini kepada kakak.. Tapi, aku melihat kepribadian kakak itu unik dan menarik. Apalagi ditambah akhlaq yang bagus, aku semakin terkagum. Tapi aku ga mau terus-terusan memendam dan memikirkannya. Aku ikhlas melepaskan perasaan ini. Karena aku ga mau terjerat dalam cinta yang hanya kepada keduniawian saja. Aku mencintaimu karena Allah....” dalam keadaan menangis aku mengatakannya, lalu aku mematikan handphone-ku setelah itu.
Aku tak mau melihat balasan SMS dari kak Rizal. Entah dia menjawab apa. Tapi yang terpenting, aku sudah mengatakannya dan berusaha untuk memadamkan rasa ini untuknya. “Jika Allah berkehendak kita bersatu, maka kita pasti bersatu. Dan jika Allah berkehendak untuk saling menjauh, maka kita tak akan bisa bersatu. Dan itulah untuk kebaikan kita sendiri” mengatakannya didalam hati sambil menutup mata.
***
berhati-hatilah dalam mengelola hati.. Jangan sampai, penyesalan datang di kemudian hari.. Barakallahu fiik..
BalasHapusItu sebuah Cerbung a.. :)
BalasHapuslanjutan dari cerpen Tragedi Wanita Bercadar hehe