Saya adalah anak kedua dari dua
bersaudara (bungsu), Bapak dan Ibu Saya bekerja sebagai PNS. Kami tinggal di
Tasikmalaya. Terkadang ketika Saya masih kecil, Saya dititipkan kepada
santri-santri yang bersekolah di Yayasan berdekatan dengan rumah Saya, orang
tua berangkat kerja. Entah apa yang Saya rasakan dulu, sejak umur 3 tahun pun
Saya sudah memakai kerudung. Walaupun tidak menutup seluruhnya karena masih
kecil. Hingga beberapa tahun kemudian, semasa TK, Saya terbiasa berkerudung.
Kami sekeluarga sempat pindah ke Indramayu yang memang agak jauh dari kota.
Sewaktu SD di Indramayu, siswa yang berkerudung itu hanya Saya di kelas,
sampai-sampai ketika kelas 4, Saya sempat membuka kerudung ketika bersekolah
karena gerah dan masih labil. Ketika orang tua tahu bahwa Saya melepaskan
kerudung, Saya dinasehati. “Wanita harus menutup aurat” ujar Ibu. Saya dulu
belum tahu betul tentang larangan, kewajiban, dan lain-lain sebagai wanita.
Semasa kecil, Saya selalu diajarkan tentang keagamaan dan bersosialisasi dengan
tetangga. Selama Saya SD, yang terkenang sampai sekarang itu adalah Saya
belajar hidup sederhana layaknya seperti orang lain di sana, meskipun banyak
orang-orang petani, pada dasarnya mereka kaya, mempunyai banyak sawah, namun masih
banyak juga teman-teman bahkan tetangga yang memerlukan bantuan (superiority), Saya kagum kepada mereka yang
tetap tersenyum dan menikmati masa hidupnya. Terkadang saya diajak ke sawah dan
sungai oleh teman. Memang sangat berbeda keadaan di perkampungan dan perkotaan.
Awalnya ketika pindah ke Indramayu, Saya tidak betah dan selalu ingin pindah ke
Tasik lagi. Namun, karena ini adalah tuntutan pekerjaan orang tua, Saya
mengikuti saja. Saya melanjutkan sekolah menengah di Tasik, Saya sejak SMP
tinggal bersama nenek dan kakak perempuan Saya.
Awal
SMP, perjalanan ketika kelas 7, bisa dihitung Saya pindah sekolah dua kali.
Pertama Saya di pesantren Amanah Tasikmalaya, Saya memiliki perilaku yang
kurang bagus, tidak masuk sekolah beberapa hari dan sering sakit, mungkin belum
terbiasa jauh dengan orang tua Saya sehingga Saya ingin pulang dan bertemu
dengan orang tua. Lalu saya pindah ke SMPN 11 Tasikmalaya, bahkan di sana Saya
hanya bersekolah dua minggu saja, karena tidak betah juga. Dan yang terakhir
Saya bersekolah di SMP Al Muttaqin Tasikmalaya, saat itu Saya harus mengejar
ketertinggalan belajar selama kelas 7. Alhamdulillah masih bisa terbantu, Saya
ingat ketika dibimbing oleh ibu Lia yang tidak lelah mengajari Saya selama di
luar jam kelas hanya untuk memberikan ajaran yang sudah tertinggal. Pada saat
beberapa bulan kemudian, Saya merasakan tidak betah lagi, fullday school yang pulangnya sore terus, Saya agak sulit untuk
beradaptasi sehingga membutuhkan waktu yang lama. Kelas 8 Saya berkomunikasi
dengan Bapak Saya melalui telepon, bahwa Saya tidak betah berada di lingkungan
seperti ini. Ternyata, mungkin Bapakku merasa terpukul atau sedih atas apa yang
Saya lakukan selama ini, sehingga Bapak membuat pesan kurang lebih seperti ini,
“Bapak sudah lelah dan tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk anakku”. Saat
itu Saya menangis dengan kencang. Dilema antara tidak betah dan ingin
mempertahankan diri untuk bersekolah di sini, orang tua saya sudah berusaha
menyekolahkan Saya, menginginkan Saya cerdas, namun apa yang Saya lakukan
selama ini? Terkesan hanya membuang uang orang tua saja. Dulu Saya ingin
bersekolah di SMP Negeri, tapi Saya ditakdirkan di sekolah swasta. Saya ingat,
waktu itu di SMP Saya akan ada acara ESQ 165, Saya tertarik ingin mengikuti
kegiatan tersebut dan pada akhirnya Saya diizinkan oleh orang tua. Setelah Saya
mengikuti Training ESQ 165 (bukan promosi), Saya merasa banyak sekali dosa yang
telah kuperbuat, terutama ketidak konsistenan belajar Saya. Pola pikir Saya
terbuka bahwa islam itu indah. Saya melakukan training selama dua hari. Dan
hasilnya Alhamdulillah.. Saya berkeinginan berubah menjadi lebih baik. Akhirnya
Saya pun sadar, Saya tidak boleh seperti ini terus. Saya harus bangkit.
Dorongan-dorongan seperti itu Saya yakini bahwa Saya akan betah bersekolah di
sini sampai tamat SMP. Ketika Saya menyadari satu hal, Saya menjadi menyadari
banyak hal pada masa SMP. Saya ingat ketika masa SD dulu, teman-teman SD sangat
ramah dan sering mengajak ke alam bebas, di Indramayu juga Saya belajar
bagaimana menghargai orang lain, sopan santun, saling membantu dan berbagi, dan
lain-lain. Pikiran-pikiran itu Saya terapkan pada saat SMP di sini, bedanya di
perkotaan itu biasanya anak sekolah kebanyakan bergaul dengan yang kaya, kurang
bersosialisasi dengan tetangganya, dan terkesan manja. Namun memang tidak semua
orang seperti itu. Saya ketika SMP sudah dapat berhemat, uang jajan masih terkumpul,
tetapi jika belanja dengan orang tua Saya, Saya mengambil banyak keinginan
(tidak memakai uang sendiri, curangnya). Tidak terasa sudah menjelang UN SMP,
Saya mempunyai kepuasan tersendiri bahwa Saya berhasil beradaptasi di sekolah
ini, Saya betah, Saya senang berada di lingkungan islami ini. Banyak pembelajaran-pembelajaran
yang tak terduga membuatku sadar. Entah itu id
dan ego Saya yang membuatku ingin
pulang atau bertemu dengan orang tua Saya sehingga sekolah terbengkalai, namun
karena super ego yang membuat Saya
sadar bahwa Saya harus dapat beradaptasi agar Saya mempunyai pribadi sehat,
Saya merasa lebih baik daripada sebelumnya.
Terpikir
bahwa Saya ingin melanjutkan SMA di Al Muttaqin lagi. Saya sudah terlanjur
betah bersekolah di SMA ini, walaupun tetap fullday
school dan berdekatan dengan SMP Saya (SMP-SMA Al Muttaqin lokasinya
berhadap-hadapan). Alhamdulillah, Saya masuk SMA ini tanpa tes tulis, Saya
sangat bersyukur pula sahabat Saya juga mengalami hal yang sama. Guru-guru di
SMA pun sangat ramah dan dapat dijadikan teman. Pada saat itu Saya dekat dengan
guru-guru. Berjalannya waktu, Saya sudah terbiasa dekat dan berinteraksi dengan
teman, guru, bibi-bibi yang ada di dapur, petugas TU, pramubakti, dan satpam
pun Saya kenal. Ketika pulang sekolah, sore hari, Saya sempatkan main ke sawah
di belakang sekolah, sangat sejuk. Melihat keindahan alam, mengingatkanku pada
Penciptanya. Sejak SMA, Saya mengikuti beberapa organisasi. Sampai-sampai Saya pernah
dijuluki “organisator” oleh wali kelas Saya. Karena Saya ingin menambah
pengetahuan dan pengalaman Saya di luar sekolah, Saya mengikuti organisasi
IPOSISTAS (Ikatan Pelajar Osis Tasikmalaya) dan IPMT (Ikatan Pelajar Muslim
Tasikmalaya”. Yang Saya pahami pada diri Saya, Saya tipe orang yang ringan
kerja namun kurang dalam public speaking,
karena malu. Saya menyadari bahwa Saya bukan tipe pemimpin, tetapi Saya adalah
tipe yang kerja sesuai intruksi. Saya belajar tentang diri Saya bukan hanya di
sekolah dan rumah saja, namun pada saat berorganisasi juga Saya sedikit
mengenal tentang kinerja Saya. Saya bersyukur, orang tua pindah kembali ke
Tasik ketika Saya SMA. Di sini, untuk dapat wawasan yang luas tentang islam itu
bukan hanya didapatkan melalui keluarga dan mentoring keagamaan sekolah saja,
tetapi juga dari hukum alam, kejadian-kejadian yang dapat kita ambil hikmahnya.
Karena Allah memberikan jalan bukan hanya pada satu jalur, tetapi banyak jalan
menuju cahaya-Nya, tergantung orangnya yang mau berpikir atau tidak.
SMA
adalah masa yang indah dari masa sebelumnya. Di mana kedewasaan itu muncul, sudah
saatnya berpikir ke depan, mempunyai motivasi belajar yang tinggi, dan inilah
yang Saya alami ketika SMA itu. Saya memiliki hobi membaca, menulis, dan
memasak. Memang banyak rintangannya, namun tidak ada kemungkinan kita mengalami
keterpurukan yang berarti. Saya pernah gagal dalam membuat tulisan, Saya pernah
tak mampu baca hingga tamat, Saya pun pernah gagal hingga gosong dalam memasak.
Saya bertipe Melankolis-Sanguinis,
banyak sekali yang mendefinisikan bahwa Melankolis-Sanguinis itu lembut,
pemaaf, perfeksionis, perasa, penyabar, kurang tegas, dan lain-lain. Ya Saya
merasakan kriteria tersebut ada dalam diri Saya, namun ambil baiknya dan
buanglah yang buruknya. Lalu Saya berpikir bahwa Saya ingin sekali membuat
orang tua Saya bangga dan bersyukur atas hadirnya Saya di dunia ini. Karena
Saya senang menulis, Saya memulai dunia baru, yaitu dunia “Blog”. Saya
mempunyai blog (shofigibraltar.blogspot.com), di situ Saya menulis apa saja.
Dari mulai pengalaman pribadi, muhasabah, dan lain-lain. Karena Saya mempunyai
kelemahan bahwa Saya belum bisa berbicara di depan orang banyak, namun Saya
optimalkan sebisa Saya untuk berprestasi di bidang kepenulisan atau sastra.
Saya ditawarkan mengikuti lomba Blog se-Priangan Timur di Universitas
Siliwangi, pesertanya satu grup itu dua orang. Pada saat lomba Blog yang
Alhamdulillah-nya Saya dan kakak kelas Saya yang bernama Teh Abil menjuarai
peringkat ke-2. Grup ketiga besar harus presentasi di depan media. Saya pun nervous ketika dilihat orang banyak,
Saya benar-benar gugup dan agak blank
saat itu. Karena Saya terbiasa dengan menulis, apa yang dikatakan atau
ungkapkan, Saya lebih baik menulis daripada mengatakannya secara langsung,
Alhamdulillah waktu-waktu itu sudah terlewati. Di sini Saya mempunyai ego
kreatif yang ada di dalam teori Erikson.
Lambat
laun Saya menyukai dunia psikologi. Dulu Saya memahaminya ilmu jiwa, Saya
sangat suka. Berinteraksi dengan guru BK Saya yang bernama Pak Iwan Irawan yang
lulusan dari BK UPI. Dari itulah Saya dibimbing mengenai motivasi belajar, gaya
belajar, dan lain-lain. Saya jika belajar itu tidak betah kalau diam atau duduk
terlalu lama. Kebiasaan Saya ketika belajar sering menggerak-gerakkan pulpen,
dan tangan Saya tidak bisa diam. Saya lebih suka melepas diri ketika penat, lari
ke alam bebas, karena Saya sangat suka kehangatan dunia, keindahan dunia,
kedamaian dunia. Teringat pada Penciptanya, bahwa kita adalah makhluk yang
kecil, apalah kita dibanding dengan gunung-gunung? Apalah arti kita dibanding
luasnya lautan? Pikiranku pun terbuka kembali, saat Saya membaca buku “Deep Thinking” oleh Harun Yahya. Saya
terinspirasi oleh beliau. Indahnya jika kita merenungi apa-apa yang sedang
berjalan di bumi ini, dari hal yang terkecil sekalipun. Saya ingin menjadi
penulis seperti beliau. Tetapi Saya ingin fokus ke sastra. Saya mendefinisikan
bahwa sastra adalah ungkapan tertulis seseorang yang mempunyai makna terdalam
dan unik. Saya menggeluti sastra semasa SMA. Saya sering diejek oleh teman
Saya, bahwa perkataan dan tulisan Saya tidak dimengerti oleh orang lain. Anggapan
Saya adalah sastra itu unik, mempunyai ciri khas nya sendiri, yang hanya dimengerti
oleh pembuatnya, itu saja. Seperti yang sering ditanyakan adalah kata ‘ndak’
(tidak), ‘kek’ (seperti), dan ‘pengin’ (ingin) itu adalah bahasa sastra. Ketika
Saya diejek, Saya turut diam saja, Saya kurang tegas, ketika marah pun Saya
menangis, kadang Saya tak mengerti mengenai diri Saya. Teman-teman bilang bahwa
Saya orangnya sangat lembut sehingga mudah untuk menangis, dan Saya memang tak
ingin menambah masalah dan Saya fokus pada satu itu, yang penting Saya dapat
berkreasi seutuhnya, mengekspresikannya melalui tulisan. Di sini juga Saya
mempunyai ego kreatif yang ada di dalam teori Erikson.
Tibalah
masa SNMPTN, ini adalah pilihan yang membuatku bimbang, dan Saya harus
memutuskan dengan yakin atas pilihan Saya. Saya mengisi PDSS dan mendaftar
ketika SNMPTN dibuka, Saya memutuskan untuk memilih hanya satu pilihan
universitas. Walaupun terdapat tiga kolom untuk memenuhi pilihan kedua dan
ketiga, namun Saya bingung yang kedua harus memilih apa, tadinya Saya ingin
memasukkan Pend. Bhs. Indonesia sebagai yang kedua, namun Saya cemas, takut
keterimanya di pilihan kedua yang masih setengah yakin, pada akhirnya Saya
yakin pada BK – UPI saja. Saya bertekad dan tawakkal setelah Saya memilih hanya
BK dalam kolom itu. Beberapa hari kemudian, Alhamdulillah Saya diterima di BK –
UPI ini. Ini salah satu pertanda bahwa Allah tak pernah menyia-nyiakan
hamba-Nya, dan Saya ingin menjadi lebih baik ke depannya.
Masa
kuliah memang sangat berbeda. Di sini Saya belajar arti hidup sebenarnya. Bahwa
kita adalah makhluk sosial dan saling membutuhkan. Di sini juga Saya belajar
untuk lebih memberanikan diri tampil optimal di depan, budaya PPB pada
perkuliahan adalah presentasi, adanya presentasi agar kita lebih terbiasa
berbicara di depan umum dan menumbuhkan rasa percaya diri. Di sisi lain terkadang
diamnya Saya adalah berpikir dan merenung. Merenungkan apa saja yang Saya lihat
dan rasakan. Ya Saya pernah dibilang oleh teman jangan melamun, jangan diam
saja, dan lain-lain (introvert). Mungkin Saya juga butuh masa adaptasi dengan
lingkungan, sedikit demi sedikit Saya berinteraksi dengan yang lain. Menurut
Erikson, sikap compulsiveness yaitu
sikap yang dibawa oleh rasa malu dan ragu berlebih. Saya memang mempunyai sifat
itu, selalu ingin sempurna, namun Saya juga harus realistis, mengerjakan sesuai
kemampuan Saya sendiri, dan Saya sadar
betul bahwa manusia tidak ada yang sempurna. Orang yang hebat adalah orang yang
mengetahui kelemahan dan kelebihan dirinya. Saya mulai mengerti bahwa manusia
itu unik dengan segala kepribadiannya dan beragam. Ada yang pendiam, hiperaktif,
dan biasa-biasa saja. Saya berhati-hati dalam memilih sahabat. Apapun yang Saya
lakukan, yang membuat Saya lambat (ujar salah satu teman) adalah kehati-hatian
Saya. Saya mengetahui kemampuan Saya sampai di mana, mungkin Saya adalah orang
yang sangat berhati-hati, hingga berjalan, makan, dan apapun Saya tetap
berhati-hati. Peristiwa ini berkaitan dengan Determinisme Psikis dan Motivasi tak Sadar, teori Psikoanalisis
Freud.
Saya berkebiasaan berpikir sebelum
bertindak dan taat pada peraturan. Ini yang sering Saya alami.
Pemikiran-pemikiran tersebut menjadi lebih berkembang seiring berjalannya
waktu. Untuk memulai sesuatu, Saya merencanakan sebaik-baiknya, Saya memikirkan
harus bagaimana dahulu, bagaimana cara mengkomunikasikannya sehingga tidak
salah langkah dan bagaimana ke depannya, bermanfaat atau tidak, efektif atau
tidak, dan lain-lain. Mungkin menurut orang lain, cara Saya seperti ini adalah
buang waktu dan terlalu perfeksionis, namun Saya memang orang yang mempersiapkan
sesuatu dari awal, merencanakan sesuatu dari awal, jika ada peraturan tertentu
sebisa mungkin Saya turuti sesuai
kesanggupan, namun kelemahan Saya, ketika rencana Saya tidak terlaksana,
terkadang Saya agak sukar untuk memperbaiki atau mencari plan B. Dan Saya
selalu mengusahakan menyelesaikan masalah atau sesuatu sampai ke akar. Saya mempunyai
pemikiran bahwa lebih baik mendengarkan daripada berbicara, mendengarkan ketika
orang lain ingin curhat, sampai dia
selesai berbicara, Saya berusaha untuk memahami apa yang dia katakan dan
rasakan, bahkan pikirkan. Di organisasi HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) PPB,
setiap ada evaluasi acara, pasti ada agenda katarsis. Di sana kita meluapkan
emosi yang pernah dialami, maupun pada peristiwa traumatik yang seolah-olah
teringat atau terungkit kembali. Satu persatu pengurus diluangkan untuk
katarsis. Di awal kepengurusan, Saya merasa bingung apa arti katarsis itu, lalu
dijelaskanlah oleh salah satu pengurus yang sudah berpengalaman di HMJ. Ketika
itu, Saya memulai katarsis, dan setelah itu Saya merasa lega atas apa yang Saya
luapkan, dan memang katarsis itu jika luapkan segala emosi, akan merasa tenang.
Masa
inilah Saya dekat dengan seorang pria. Dia baik, penuh perhatian, shaleh. Saya
tertarik padanya. Namun Saya mempunyai prinsip bahwa Saya tidak ingin pacaran. Saya
mempertahankan diri untuk ingin pacaran setelah menikah, pemikiran Saya hanya
menikah dan akan mempersembahkan pada orang yang tepat. Masa kuliah, perasaan pun berbeda. Saya
memulai merasakan ingin dijaga, ingin diperhatikan oleh seseorang. Ya dulunya
Saya memang pernah jatuh cinta, namun Saya ingin bangun cinta, pada cinta yang
sejati, yang hakiki. Terakhir Saya akan membahas tentang cinta. Walaupun
Psikoanalisis merujuk pada seksualitas, Saya menyadari betul bahwa ini adalah
manusiawi, yang perlu diperhatikan adalah menyalurkannya. Menuju jalan yang
benar atau yang tidak benar, yang haq
atau bathil. Saya memegang pada
prinsip Islam. Rasa suka memang fitrah, semua orang berhak merasakannya.
Januari lalu, Saya mempunyai peristiwa traumatik, bagaimana caranya,
bertanya-tanya mengapa seperti ini? Secepat inikah?, orang yang Saya sukai itu
tiba-tiba mendatangi orang tua Saya di Tasikmalaya. Dia benar-benar ingin
serius dengan Saya dengan cara mengatakannya kepada orang tua Saya. Ini adalah
pembelajaran Saya untuk memikirkan dengan matang apakah Saya nanti akan
menerima dirinya? Jika iya, bisa jadi pria tersebut menikahi Saya ketika Saya
masih kuliah. Saya pun memutuskan untuk bertanya-tanya, berkonsultasi kepada
orang yang sudah menikah pada saat kuliah, dan khususnya istikharah serta
selalu memperbaiki diri untuk masa depan yang lebih baik. (Hal ini berkenaan
dengan Pembentukan Reaksi yang penggantian sikap dan tingkah laku dengan sikap
dan tingkah laku yang berlawanan).
Walaupun
Saya bertubuh mungil, tetapi Saya tidak lepas bersyukur pada-Nya. Memberikan
takdir yang luar biasa dan semoga dengan pengalaman ini Saya menjadi lebih
dewasa dalam menjalani kehidupan. Saya tahu bahwa mengatur kehidupan rumah
tangga tidaklah mudah, namun Saya ingin mencoba dan membayangkan seakan-akan
Saya sudah berkeluarga dan mempunyai persoalan yang harus dihadapi, nanti Saya
harus bertindak apa dan bagaimana jalan keluarnya. Bahkan berkeluarga yaitu
menyatukan dua karakter yang berbeda. Jadi Saya harus memikirkan dan menghadapi
perbedaan karakter tersebut agar menjadi satu visi dan misi, sehingga
terbentuklah keluarga yang senantiasa selalu bersyukur dan tidak lupa untuk
terus memperbaiki diri. Saya adalah orang yang dapat dikatakan mudah menyerah,
namun kejadian-kejadian ini menjadikan Saya sebuah motivasi agar Saya dapat
berkembang menjadi lebih baik lagi. Inilah peristiwa yang berkaitan dengan
Dinamika Kepribadian pada Instink hidup dan
adanya kecemasan di dalamnya.
Dalam
instink mati pun demikian, Saya selama
ingat ingin menikah, ada dorongan-dorongan ingin menikah karena usia Saya tidak
tahu sampai kapan, karena diri ini adalah makhluk yang berdosa tetapi
menginginkan masuk Syurga-Nya, jadi Saya optimalkan ingin menikah sedini
mungkin. Mempersiapkan kematian dengan menyempurnakan setengah agama, berbakti
pada orang tua dan pasangan, serta memperbaiki diri pada intinya.