Jumat, 26 Juni 2015

Indahnya menjemput Ridho Orang Tua dengan Cinta..

Tahun ini, 2015.. Banyak sekali kejadian yang menarik dan berkesan bagi Saya. Kehidupan ini mengajari Saya untuk selalu bermuhasabah. Dari bulan Januari lalu, ketika Saya pulang ke rumah yang ada di Tasikmalaya, Saya dilamar oleh seorang laki-laki, tetapi Saya belum memutuskan lamarannya diterima atau tidak. Saya meminta waktu untuk memikirkannya. Saya tidak menyangka bahwa laki-laki itu membawa orang tua sekaligus untuk menanyakan kesiapan Saya untuk menikah. Lisan tak berucap, hati bergetar. Selalu bertanya-tanya, apakah ini benar? Secepat itukah? Apakah ini sebagian dari Rencana Allah?
Sebelumnya Saya sudah kenal dengan laki-laki itu pada lima tahun yang lalu, ketika  awal masuk SMA. Saya hidup dengan keluarga yang memprioritaskan agama dari pada yang lain, terutama Bapak Saya. Dengan ketegasan orang tua dan cara mendidiknya yang berperilaku demokratis, Bapak dengan ketegasannya namun diselimuti oleh kelembutannya, Mama dengan kekhawatiran (jika terjadi apa-apa) dan kasih sayangnya, membuat Saya sangat bersyukur memiliki keluarga utuh seperti ini.  Saya mempunyai prinsip pacaran setelah menikah, hal itu dibangun sejak Saya masih kelas 2 SMA. Saya berkomitmen untuk tidak pacaran terlebih dahulu, dan menginginkan langsung dilamar serta mempunyai target menikah diusia 22 tahun. Namun, Allah mempunyai rencana indah yang tak terduga. Saat ini Saya berumur 20 tahun dan orang yang melamar Saya adalah 23 tahun, serta sudah memiliki pekerjaan. Sangat tidak menyangka bahwa secepat inikah Saya menikah?  
         Orang tua Saya saat itu benar-benar bingung dan terkejut, baru saja tahun lalu kakak perempuan Saya menikah, kok tahun ini Saya dilamar? Apalagi Saya anak kedua dari dua bersaudara (bungsu). Terdapat pro dan kontra terhadap apa yang terjadi. Bapak Saya menganjurkan menikah diusia muda jika memang sudah mampu untuk menikah dan tidak ada masalah  jika putrinya menikah di saat kuliah. Namun, Mama Saya ketika itu belum setuju  jika Saya menikah di saat kuliah, karena Mama memaparkan kekhawatiran-kekhawatirannya kepada Saya, terutama khawatir jika Saya terganggu kuliahnya. Akhirnya kami sekeluarga berdiskusi tentang hal ini dan mencari jalan keluar yang terbaik. Saya menjelaskan seperti apa sosok laki-laki itu sepengetahuan Saya. Yang Saya ketahui, laki-laki itu berkepribadian baik, bertanggung jawab, dan Saya kagum terhadap dirinya yang shaleh. Lalu Saya merasa ada keunikan pada diri laki-laki itu yang membuat Saya semakin kagum, ketika dirinya mengatakan, “Saya menyukai Shofi, izinkan Saya untuk menikahi Shofi, dan Saya sudah beristikharah”. Bapak bercerita kepada Saya pada saat laki-laki itu datang sebelum lamaran. Bapak baru mengenalinya, sejak saat laki-laki itu menemui orang tua Saya tanpa sepengetahuan Saya. Pada akhirnya, Saya beserta orang tua terus melakukan istikharah, mencari ilham, mencari solusi, dan lain-lain.
Sejujurnya, baru kali ini Saya menemukan laki-laki yang seperti ini., mengungkapkan perasaan “suka” kepada Bapak Saya sendiri. Saya anggap laki-laki itu sangat gentle. Saya tidak mengira bahwa dirinya benar-benar serius dengan Saya. Laki-laki tersebut mempunyai prinsip yang sama dengan Saya, yaitu pacaran setelah menikah. Saya yakin, dirinya dapat menjaga diri, mempunyai konsep diri yang jelas, dan sangat hebat bahwa dirinya sudah meyakinkan orang tua Saya untuk menikah di tahun ini. Saya juga mengetahui bahwa sukarnya menghadap kepada orang tua perempuan pada zaman sekarang, apalagi Saya masih kuliah, tetapi tidak untuk laki-laki itu. Saya merasakan ada banyak jalan untuk menempuh ikatan yang suci itu. Setelah keluarga kami meminta waktu untuk memutuskannya, tiba-tiba Mama luluh atas kedatangan seorang laki-laki itu dengan niat baiknya, dan Saya pun merasa terdapat keyakinan bahwa Saya akan menikah dengannya, akan dibimbing olehnya, dan akan menjadi teman sejatinya di saat suka dan duka.  
Teringat apa yang telah dikatakan oleh dosen mata kuliah Dasar-dasar BK Keluarga (Ibu Dr. Hj. Euis Farida, M.Pd.) bahwa menikah itu lebih baik bukan didasarkan ‘nikahin aja, daripada zina’, padahal menikah itu untuk memelihara, menyempurnakan, dan pengabdian. Bukan ada ‘daripada’nya. Menikah itu tergantung dari kesiapan dan kematangan mental dan fisik untuk membangun keluarga, dan faktor ekonomi pun berpengaruh untuk kelangsungan hidup keluarga. Dalam hadits, seseorang bertanya kepada Hasan al-Bashri: “Saya memiliki seorang putri yang telah menginjak usia nikah, sudah banyak orang yang melamarnya, kepada siapakah saya harus menikahkannya?”. Hasan menjawab: “Nikahkanlah dia dengan seorang yang takut kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya, sebab kalau dia mencintainya maka dia akan memuliakannya dan apabila dia marah maka dia tidak akan menzholiminya”.
Hadits tersebut berpandangan bahwa jika ada yang melamar, dan orang yang melamarnya itu berkepribadian baik dan shaleh, maka terimalah, sebelum menyesal di kemudian hari. Orang baik akan selalu membuat orang yang di sekitarnya bahagia, insyaAllah.
Setelah kami mendiskusikan jauh-jauh hari mengenai hal ini dengan keluarga besar, insyaAllah kami melaksanakan akad dan resepsi pernikahan setelah keponakan Saya menikah di bulan Juli tahun ini. Alhamdulillah kami mendapat jalan keluarnya dan itu adalah kami menerima lamaran tersebut. Tiga minggu kemudian, kami sekeluarga berniat untuk bersilaturrahmi dan memberikan keputusan atas lamaran itu. Bukannya Saya yang menginginkan menikah cepat, tetapi Allah yang menggerakkan hati Saya untuk menyempurnakan setengah agama sekaligus berusaha menjadi lebih baik untuk tabungan orang tua dan pastinya membahagiakan mereka kelak. Memang kita tak dapat mengelak ketentuan-Nya. Akhirnya, detik-detik lamaran itu terselesaikan. Barulah dirinya memberikan cincin emas putih yang bercorak love kepada Saya.
Saya terkejut ketika Mama menjadi semangat mengurus persiapan pernikahan untuk bulan-bulan yang akan datang. Sebelumnya, Mama merasa khawatir dan belum setuju untuk menikahkan Saya, tetapi setelah dilalui akhirnya Mama ridho, dan akan memiliki 4 orang anak. Hikmahnya, orang tua Saya menjadi ridho dan menerima calon menantunya karena sifat baik yang dimiliki oleh laki-laki tersebut. InsyaAllah jika berjodoh, akan sampai pada pelaminan, jika tidak, mungkin Allah mempersiapkan seseorang yang terbaik untuk Saya. Jodoh itu kalau sudah merasa pas di hati, lanjutkanlah ke jenjang yang lebih serius. Jadilah orang yang selektif dalam memilih. Apalagi teman hidup yang selalu mendampingi kita.
Kisah yang mengharukan juga, Alhamdulillah Saya mendapat beasiswa dari Pemprov. Jawa Barat pada tahun ini, padahal Saya mengajukan data-data beasiswa ketika tahun lalu ke Pemprov. Jawa Barat. Saya kira, Saya tidak mendapat beasiswa tersebut, namun di sela-sela hari yang penuh dengan kebimbangan, Allah menghadirkan kuasa-Nya yang tak terkira. Saya yakin ini adalah bagian dari rencana Allah dan pertanda Saya harus banyak bersyukur. Orang tua pun menangis haru dan syukuran ketika mendengar Saya mendapat beasiswa.  
Saya merasakan bahwa orang tua Saya memiliki sifat demokratis. Sebagaimana dijelaskan oleh Rif’an (2013, hlm. 66) bahwa tipe orang tua bisa bermacam-macam. Pertama, ada orang tua yang punya karakter demokratis. Ini seringkali berasal dari kalangan berpendidikan. Untuk menghadapi orang tua seperti ini perlu adanya dialog dengan logika yang baik. Ceritakan bagaimana kondisi saat ini di mana perilaku seks di kalangan anak muda yang sudah sangat memprihatinkan. Ceritakan kisah-kisah pernikahan yang sukses dilakukan oleh beberapa orang besar yang ternyata tidak menghalangi mereka untuk meraih prestasi yang tinggi. Kedua, tipe orang tua yang agamanya cukup baik. Untuk menghadapi orang tua dengan karakter ini, insyaAllah akan lebih mudah, karena mereka menyadari bahwa menikah adalah salah satu ibadah yang sangat dianjurkan oleh Islam. Ketiga, tipe orang tua yang teguh dengan pendapat pribadinya dan senantiasa menganggap anaknya sebagai anak kecil yang belum mampu berpikir logis. Mereka sulit percaya bahwa anaknya bisa menjangkau pemikiran yang baik untuk masa depannya. Untuk menghadapi orang tua seperti ini, ajaklah orang-orang yang selama ini disegani oleh orang tua untuk menjelaskan tentang keinginan menikah, misalnya tokoh masyarakat, kakek, nenek, dan orang yang disegani oleh orang tua. Ceritakan tentang manfaat nikah di usia muda dan bahaya-bahaya yang bisa ditimbulkan akibat menunda pernikahan”. Inilah ungkapan dari penulis yang pro terhadap menikah di usia muda dan memberikan tips-tips untuk menghadapi orang tua ketika berkeinginan untuk menikah.     

Referensi :
Hadits Hasan al-Bashri.

Rif’an, Ahmad Rifa’i. (2013). Nikah Muda, Siapa Takut?. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar