Tahun ini, 2015.. Banyak sekali kejadian yang
menarik dan berkesan bagi Saya. Kehidupan ini mengajari Saya untuk selalu
bermuhasabah. Dari bulan Januari lalu, ketika Saya pulang ke rumah yang ada di Tasikmalaya,
Saya dilamar oleh seorang laki-laki, tetapi Saya belum memutuskan lamarannya
diterima atau tidak. Saya meminta waktu untuk memikirkannya. Saya tidak
menyangka bahwa laki-laki itu membawa orang tua sekaligus untuk menanyakan
kesiapan Saya untuk menikah. Lisan tak berucap, hati bergetar. Selalu
bertanya-tanya, apakah ini benar? Secepat itukah? Apakah ini sebagian dari Rencana
Allah?
Sebelumnya Saya sudah kenal dengan
laki-laki itu pada lima tahun yang lalu, ketika
awal masuk SMA. Saya hidup dengan keluarga yang memprioritaskan agama
dari pada yang lain, terutama Bapak Saya. Dengan ketegasan orang tua dan cara
mendidiknya yang berperilaku demokratis, Bapak dengan ketegasannya namun
diselimuti oleh kelembutannya, Mama dengan kekhawatiran (jika terjadi apa-apa) dan
kasih sayangnya, membuat Saya sangat bersyukur memiliki keluarga utuh seperti
ini. Saya mempunyai prinsip pacaran
setelah menikah, hal itu dibangun sejak Saya masih kelas 2 SMA. Saya
berkomitmen untuk tidak pacaran terlebih dahulu, dan menginginkan langsung
dilamar serta mempunyai target menikah diusia 22 tahun. Namun, Allah mempunyai
rencana indah yang tak terduga. Saat ini Saya berumur 20 tahun dan orang yang
melamar Saya adalah 23 tahun, serta sudah memiliki pekerjaan. Sangat tidak
menyangka bahwa secepat inikah Saya menikah?
Orang
tua Saya saat itu benar-benar bingung dan terkejut, baru saja tahun lalu kakak
perempuan Saya menikah, kok tahun ini
Saya dilamar? Apalagi Saya anak kedua dari dua bersaudara (bungsu). Terdapat
pro dan kontra terhadap apa yang terjadi. Bapak Saya menganjurkan menikah
diusia muda jika memang sudah mampu untuk menikah dan tidak ada masalah jika putrinya menikah di saat kuliah. Namun,
Mama Saya ketika itu belum setuju jika
Saya menikah di saat kuliah, karena Mama memaparkan
kekhawatiran-kekhawatirannya kepada Saya, terutama khawatir jika Saya terganggu
kuliahnya. Akhirnya kami sekeluarga berdiskusi tentang hal ini dan mencari
jalan keluar yang terbaik. Saya menjelaskan seperti apa sosok laki-laki itu
sepengetahuan Saya. Yang Saya ketahui, laki-laki itu berkepribadian baik,
bertanggung jawab, dan Saya kagum terhadap dirinya yang shaleh. Lalu Saya
merasa ada keunikan pada diri laki-laki itu yang membuat Saya semakin kagum,
ketika dirinya mengatakan, “Saya menyukai Shofi, izinkan Saya untuk menikahi
Shofi, dan Saya sudah beristikharah”. Bapak bercerita kepada Saya pada saat
laki-laki itu datang sebelum lamaran. Bapak baru mengenalinya, sejak saat
laki-laki itu menemui orang tua Saya tanpa sepengetahuan Saya. Pada akhirnya,
Saya beserta orang tua terus melakukan istikharah, mencari ilham, mencari
solusi, dan lain-lain.
Sejujurnya, baru kali ini Saya menemukan
laki-laki yang seperti ini., mengungkapkan perasaan “suka” kepada Bapak Saya
sendiri. Saya anggap laki-laki itu sangat gentle.
Saya tidak mengira bahwa dirinya benar-benar serius dengan Saya. Laki-laki
tersebut mempunyai prinsip yang sama dengan Saya, yaitu pacaran setelah
menikah. Saya yakin, dirinya dapat menjaga diri, mempunyai konsep diri yang
jelas, dan sangat hebat bahwa dirinya sudah meyakinkan orang tua Saya untuk
menikah di tahun ini. Saya juga mengetahui bahwa sukarnya menghadap kepada
orang tua perempuan pada zaman sekarang, apalagi Saya masih kuliah, tetapi
tidak untuk laki-laki itu. Saya merasakan ada banyak jalan untuk menempuh
ikatan yang suci itu. Setelah keluarga kami meminta waktu untuk memutuskannya, tiba-tiba
Mama luluh atas kedatangan seorang laki-laki itu dengan niat baiknya, dan Saya
pun merasa terdapat keyakinan bahwa Saya akan menikah dengannya, akan dibimbing
olehnya, dan akan menjadi teman sejatinya di saat suka dan duka.
Teringat apa yang telah dikatakan oleh
dosen mata kuliah Dasar-dasar BK Keluarga (Ibu Dr. Hj. Euis Farida, M.Pd.)
bahwa menikah itu lebih baik bukan didasarkan ‘nikahin aja, daripada zina’,
padahal menikah itu untuk memelihara, menyempurnakan, dan pengabdian. Bukan ada
‘daripada’nya. Menikah itu tergantung dari kesiapan dan kematangan mental dan
fisik untuk membangun keluarga, dan faktor ekonomi pun berpengaruh untuk
kelangsungan hidup keluarga. Dalam hadits, seseorang bertanya kepada Hasan
al-Bashri: “Saya memiliki seorang putri yang telah menginjak usia nikah, sudah
banyak orang yang melamarnya, kepada siapakah saya harus menikahkannya?”. Hasan
menjawab: “Nikahkanlah dia dengan seorang yang takut kepada Allah dan bertaqwa
kepada-Nya, sebab kalau dia mencintainya maka dia akan memuliakannya dan
apabila dia marah maka dia tidak akan menzholiminya”.
Hadits tersebut berpandangan bahwa jika
ada yang melamar, dan orang yang melamarnya itu berkepribadian baik dan shaleh,
maka terimalah, sebelum menyesal di kemudian hari. Orang baik akan selalu
membuat orang yang di sekitarnya bahagia, insyaAllah.
Setelah kami mendiskusikan jauh-jauh
hari mengenai hal ini dengan keluarga besar, insyaAllah kami melaksanakan akad
dan resepsi pernikahan setelah keponakan Saya menikah di bulan Juli tahun ini. Alhamdulillah
kami mendapat jalan keluarnya dan itu adalah kami menerima lamaran tersebut. Tiga
minggu kemudian, kami sekeluarga berniat untuk bersilaturrahmi dan memberikan
keputusan atas lamaran itu. Bukannya Saya yang menginginkan menikah cepat,
tetapi Allah yang menggerakkan hati Saya untuk menyempurnakan setengah agama
sekaligus berusaha menjadi lebih baik untuk tabungan orang tua dan pastinya
membahagiakan mereka kelak. Memang kita tak dapat mengelak ketentuan-Nya.
Akhirnya, detik-detik lamaran itu terselesaikan. Barulah dirinya memberikan
cincin emas putih yang bercorak love
kepada Saya.
Saya terkejut ketika Mama menjadi
semangat mengurus persiapan pernikahan untuk bulan-bulan yang akan datang.
Sebelumnya, Mama merasa khawatir dan belum setuju untuk menikahkan Saya, tetapi
setelah dilalui akhirnya Mama ridho,
dan akan memiliki 4 orang anak. Hikmahnya, orang tua Saya menjadi ridho dan menerima calon menantunya
karena sifat baik yang dimiliki oleh laki-laki tersebut. InsyaAllah jika
berjodoh, akan sampai pada pelaminan, jika tidak, mungkin Allah mempersiapkan
seseorang yang terbaik untuk Saya. Jodoh itu kalau sudah merasa pas di hati,
lanjutkanlah ke jenjang yang lebih serius. Jadilah orang yang selektif dalam
memilih. Apalagi teman hidup yang selalu mendampingi kita.
Kisah yang mengharukan juga,
Alhamdulillah Saya mendapat beasiswa dari Pemprov. Jawa Barat pada tahun ini,
padahal Saya mengajukan data-data beasiswa ketika tahun lalu ke Pemprov. Jawa
Barat. Saya kira, Saya tidak mendapat beasiswa tersebut, namun di sela-sela
hari yang penuh dengan kebimbangan, Allah menghadirkan kuasa-Nya yang tak
terkira. Saya yakin ini adalah bagian dari rencana Allah dan pertanda Saya
harus banyak bersyukur. Orang tua pun menangis haru dan syukuran ketika
mendengar Saya mendapat beasiswa.
Saya merasakan bahwa orang tua Saya
memiliki sifat demokratis. Sebagaimana dijelaskan oleh Rif’an (2013, hlm. 66)
bahwa tipe orang tua bisa bermacam-macam. Pertama, ada orang tua yang punya
karakter demokratis. Ini seringkali berasal dari kalangan berpendidikan. Untuk
menghadapi orang tua seperti ini perlu adanya dialog dengan logika yang baik. Ceritakan
bagaimana kondisi saat ini di mana perilaku seks di kalangan anak muda yang
sudah sangat memprihatinkan. Ceritakan kisah-kisah pernikahan yang sukses
dilakukan oleh beberapa orang besar yang ternyata tidak menghalangi mereka
untuk meraih prestasi yang tinggi. Kedua, tipe orang tua yang agamanya cukup
baik. Untuk menghadapi orang tua dengan karakter ini, insyaAllah akan lebih
mudah, karena mereka menyadari bahwa menikah adalah salah satu ibadah yang
sangat dianjurkan oleh Islam. Ketiga, tipe orang tua yang teguh dengan pendapat
pribadinya dan senantiasa menganggap anaknya sebagai anak kecil yang belum
mampu berpikir logis. Mereka sulit percaya bahwa anaknya bisa menjangkau pemikiran
yang baik untuk masa depannya. Untuk menghadapi orang tua seperti ini, ajaklah
orang-orang yang selama ini disegani oleh orang tua untuk menjelaskan tentang
keinginan menikah, misalnya tokoh masyarakat, kakek, nenek, dan orang yang
disegani oleh orang tua. Ceritakan tentang manfaat nikah di usia muda dan
bahaya-bahaya yang bisa ditimbulkan akibat menunda pernikahan”. Inilah ungkapan
dari penulis yang pro terhadap
menikah di usia muda dan memberikan tips-tips untuk menghadapi orang tua ketika
berkeinginan untuk menikah.
Referensi :
Hadits Hasan al-Bashri.
Rif’an, Ahmad Rifa’i. (2013). Nikah Muda, Siapa Takut?. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar