Kamis, 19 Desember 2024

Healing Terbaik adalah Menulis

    Semenjak menjadi ibu, tentu banyak perubahan besar pada diri apalagi hidup di perantauan. Mengenai pandangan ke depan dan tetap berusaha menikmati yang terjadi saat ini. Mungkin bagi sebagian besar perempuan, ini hal yang biasa dilakukan oleh seorang ibu. Bahkan entah kapan seorang ibu bisa bertukar cerita pada dunia bahwa apa yang dia rasakan saat ini. 
    Zaman sekarang, sudah serba canggih dan serba viral. Jadi, sesuatu yang terjadi, memang harus benar-benar difilter atas apa saja yang harus diceritakan. Jangan semua orang tahu. Tapi, kalau menurutku balik lagi kepada niat dan semoga bermanfaat saja, sharing apa yang terjadi dan ceritakan untuk pembelajaran ke depannya. Bukannya kita tidak bersyukur dan tidak percaya kuasa Allah/ menyalahi takdir Allah, namun manusia pasti punya akal pikiran agar tidak terjerumus pada kondisi yang sama. Intinya ambil hikmahnya saja lah ya. 
    Menjadi ibu, terus sibuk akan rutinitas sehari-hari. Apalagi berprofesi kerja di rumah (IRT) Hihi. Dilengkapi anak yang masih membutuhkan perhatian (usia 5 tahun dan 1,5 tahun). Rumah rame sekali. Dan entah mengapa aku terpaku oleh dunia mereka. Dan dari sinilah aku harus mulai belajar TEGA. Tega bukan berarti mengabaikan, namun melatih mereka untuk tumbuh, tentunya berada dalam pengawasan. 
    Banyak yang hilang diri ini kalau dikatakan jujur ya, termasuk bersosialisasi dan belum menemukan manajemen waktu, ya masih melihat dan menyesuaikan kondisi mental dan fisik anak. Diri ini butuh menulis saja tidak ada waktu. Sampailah pada diriku yang sering marah-marah di rumah, karena tidak memiliki waktu untuk sendiri. Me time sambil nonton drakor juga Alhamdulillah banget (hehehe). Apalagi menemani tidur siang anak kedua yang masyaaAllah 1 jam aja udah syukuran banget. Memang lebih aktif saja anak yang kedua. 
    Inti dari semua, berusaha menjadi yang terbaik menurut versiku. Diusia ini, mulai bersosialisasi sewajarnya. Makin bersyukur, minta ampun pada Allah atas kesalahan yang sudah diperbuat, apalagi kepada anak dan suami ya. Yang harus dilawan adalah gengsi, gengsi meminta maaf. Healing sejenak jika capek. Daaaaaaannn teruslah berkarya, memotivasi diri sendiri dan orang lain. 
Ambil baiknya, buang yang buruknya yaaa.. Sekian dulu healing setitik. XD 
Terima kasih yaa Allah, atas kenikmatan menulis ketika anak-anak sedang tidur siang :') 

Senin, 09 Desember 2024

Welcome Back My Notes

 Assalamualaikum.. Bagaimana kabarmu, blog-ku? Aku harap mulai saat ini aku benar-benar ingin menata kembali apa tujuanku untuk menulis di sini. Salah satunya untuk berbagi kisah dan sharing saja. 

Terkejut sekali diriku, terakhir kalinya aku menulis di sini pada tahun 2018. Ke mana saja diriku sampai saat ini? Aku akan bercerita dari tahun 2018 - 2022 dulu ya. Waktu yang sangat panjang, beragam kisah hidup yang sudah aku lewati bersama suami. Selama 6 tahun ini aku 'ngapain aja sih?'.

- 2018 

Di waktu ini, aku ikut suami ke Papua, dan entah kenapa aku saat itu ingin pulang ke rumah (Tasik). Ternyata, rencana Allah Swt. sangat indah ya (sambil flash back masa itu). Di mana aku Alhamdulillah diberi kepercayaan oleh-Nya untuk menjaga malaikat kecil di perutku. Yang aku ingat, saat aku baru mengetahui bahwa aku sedang hamil itu ketika terlambat datang bulan, dan itu di waktu bulan Ramadhan. Masyaa Allah :') Setelah mengetahuinya, aku cek kandungan di klinik ISOS tempat suamiku bekerja, dan Alhamdulillah bukti itu benar. Kondisiku sedang hamil 4 minggu (makin ingin segera pulang cuti). Namun, kami direkomendasikan jangan dulu naik pesawat ketika hamil muda, 'riskan' katanya. Padahal kami sudah merencanakan akan pulang cuti sebelum lebaran Idul Fitri.

Entah apa yang meyakinkan aku untuk bersi keras ingin pulang, tapi Bismillah saat itu kami sedang mencari jalan terbaik. Akhirnya, kami memutuskan untuk tetap pulang cuti dalam keadaan aku hamil 4 minggu, dan meminta surat keterangan dokter bahwa aku sedang mengandung dan punya pegangan kalau dimintai surat keterangan. Ok fix, Lahaulaa walaa quwwata illa Billah.. kami pun dengan hati-hati melakukan segala sesuatu ketika penerbangan sampai tiba di rumah dan jika terjadi sesuatu, insyaa Allah aku ikhlas (pikiranku kala itu). Alhamdulillaaah.. Saat pulang cuti janinku kuat untuk naik pesawat. Dulu, kupikir takut pendarahan, dll. Ternyata atas izin Allah Khansa-ku bertahan. 

-2019

Awal tahun, kumerasa deg-degan tak karuan mungkin ya.. mendengar kata 'melahirkan', di saat aku sedang hamil masa akhir, dan aku mencari tempat-tempat untuk melahirkan. Dan akhirnya ku melahirkan di RS Jasa Kartini Tasikmalaya. Ditemani abah, nin, wa tini yang selalu mendampingiku. Suami saat itu sedang di perjalanan menuju Tasik. Yangti, mertuaku hadir di saat yang tepat. Saat detik-detik terakhir Khansa memperlihatkan dirinya di dunia, yangti langsung masuk dan memberiku kecupan manis agar aku semangat untuk melahikan malaikat mungil ini. Ah, kisah ter so sweet bareng yangti. Dimulai saat ini, aku dan suami benar-benar belajar mengasuh, merawat, mencintai Khansa, anak pertama kami. 

-2020

Tahun 2020 ini, kumenjalani sebagaimana mestinya orang tua merawat anaknya dengan kasih sayang. Ya, memang sebelumnya kami diberi tantangan untuk membesarkan Khansa di saat LDM. Rasanya nano nano lah yaaa. Semua ada sisi positif dan negatifnya sih. Dan Qadarullah tahun 2020 ini, banyak cobaan di dunia ini, salah satunya ada Covid-19 yang mulai terjadi di Indonesia. Rencana Allah pasti yang terbaik. Tidak mungkin Allah menciptakan virus tersebut tanpa ada maksud. Tentara-tentara Allah itu, membuat kita lebih menafakuri atas kebesaran-Nya. Dan sayangnya, saya terlalu was-was akan hal itu karena takut terjadi apa-apa pada si kecil Khansa yang baru berapa bulan. Dan akhirnya, Bismillaah... semoga bisa menghadapi apapun yang terjadi di tahun 2020. 

-2021

Ketika kupikir-pikir, sangat tak terasa waktu terus berlalu. Alhamdulillaah aku bisa melewati sedikit demi sedikit rintangan pada saat membesarkan Khansa. Belajar mengurus sendiri tanpa dibantu oleh wa Entin dan orang tua. Aku merasakan bahwa aku berhak memiliki reward (ini bukan maksud berbangga diri ya, tapi keyakinan agar aku lebih bersemangat lagi untuk mendidik Khansa berdasarkan kemampuanku. Dan mungkin ini terkesan lebay, tapi memang reward terhadap diri sendiri itu perlu). Entah itu reward nya makan-makan di mall, nonton di bioskop, dll. Sebetulnya yang sederhana-sederhana aja udah bikin aku bersemangat lagi. 

Makin hari semakin menyadari bahwa aku sepertinya kurang bisa mendidik Khansa sendiri (kalau LDM kan tidak ada kontak fisik antara ayah dan anak setiap hari). Sebenarnya orang bebas berpendapat sesuai dengan keyakinan dan kondisi masing-masing ya kan. Sebetulnya tak ada yang salah mendidik anak ketika LDM atau tidak selagi orang tuanya dapat berkomunikasi dan memiliki kesepakatan-kesepatakan untuk mendidik dengan jarak jauh. Tapi, yang aku rasakan aku belum bisa memenuhi itu. Komunikasi perbedaan waktu menjadi tantangan buatku, apalagi suami pulang cuti dalam 3 bulan sekali (meski ga terasa waktu 3 bulan itu).

Aku terus memikirkan bagaimana jika aku ikut suami saja???? Apalagi ditambah keadaan saat itu tempat tinggal suami bersebelahan dan dipakai untuk karantina covid-19. Kupikir saatnya ini adalah waktu yang tepat untuk kembali bersama mendidik Khansa yang akan memasuki usia 3 tahun, dimana masa yang butuh perhatian juga dari ayahnya untuk lebih mengoptimalkan perkembangan Khansa. 

Qadarullah, kisah covid-19 yang aku takuti, terjadi padaku, Khansa, dan wa Entin. Begitulah kisahnya, sebetulnya panjang banget, tapi apapun yang terjadi, itu pasti kehendak-Nya, dan kami tak bisa lari dari itu. Alhamdulillahnya, meski begitu, kami baik-baik saja. :') Masya Allah.. 

Setelah itu, pertengahan 2021, barulah keluarga kecilku pindah ke Papua. 


- 2022

Banyak pelajaran yang aku ambil. Hidup bersama suami seru juga. Eh ternyata makin betah, tapi ya meski di sini hanya hutan, banyak teman kok, semuanya menginspirasi. Alhamdulillah 'ala kullihaal.


_bersambung_ 

Selasa, 08 Mei 2018

Tak Perlu Kau Unfriend


Kita semua mempunyai perasaan nyaman dengan orang lain, menyadari bahwa kita harus menikmatinya. Ada saatnya ketika kita memulai hidup yang baru, contohnya pada awal SMP-SMA-kuliah, pasti bertemu dengan orang yang berbeda-beda.

Orang yang kita anggap nyaman, nikmatilah di masa itu.. karena kita tak tahu, orang yang akan kita jumpai di masa depan itu mungkin berbeda.. Saya tidak membicarakan tentang pacaran, namun tentang sahabat yang berubah rasa menjadi ‘suka’. Memang terlalu sulit ketika kita sedang berada pada masa pubertas. Ini berarti pentingnya menghadapi tantangan namun kita tidak meninggalkan zona agama kita. Dimana kita mengharapkan seseorang menjadi pasangan hidup, maka banyak berdoalah.. Terkadang, orang yang tebar pesona akan kalah dengan orang yang pendiam dalam hal mengungkapkan perasaannya.

Hingga akhirnya, terkadang kita tak perlu menjauhkan diri apabila harapan itu pupus. Kita perlu berdoa agar meminta yang lebih baik dan berdoa agar orang yang kita harapkan itu bahagia dengan orang lain. Memang ikhlas tak mudah untuk dirasakan, namun kita memiliki akal sehat bahwa itu sudah kehendak Allah Swt. ada rasa ‘menerima’ apa yang terjadi walaupun pahit, itu dapat dikatakan ikhlas, tapi butuh berteman dengan proses, maka nikmatilah proses itu.

Ada rasa sakit hati, kecewa, marah, dan pada akhirnya unfriend-unfollow-hapus nomor telepon. Ya saya merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain ketika bermove-on dan pasti ada orang yang jika ingin melupakan atau mengikhlaskan seseorang itu perlu unfriend, hapus nomor, dan lain-lain. Menurut saya pribadi, untuk apa? Biarlah ia menjadi kenangan. Tak perlu kau unfriend-unfollow karena mereka pernah membuatmu bahagia. Ingatlah ketika mereka menemani kita saat orang lain menjauh.

Yang digarisbawahi adalah mengikhlaskan ‘rasa suka/cinta’ pada orang tersebut, tak perlu kau unfriend/unfollow mereka. Berhubungan baik dengan orang yang pernah kita sukai adalah kita mulai menerima apa yang terjadi kan? Silaturrahminya dapet, pahala ikhlasnya dapet, motivasi untuk menjadi lebih baiknya dapet. Bukankah begitu? ^_^

Minggu, 11 Maret 2018

Ternyata Menikah pada saat Kuliah itu ………….


Ada saatnya ketika kita selama kuliah dibanjiri dengan pertanyaan “abis kuliah mau kerja di mana? Abis kuliah langsung nikah ya?”. Terlintas, orang tua pasti ingin anaknya sukses dengan mencari-cari pekerjaan yang pantas untuk anaknya. Terkadang ada yang terlupakan, walaupun kita tak boleh berandai-andai, tapi kita harus bisa mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan terjadi pada hari esok agar kita tidak tiba-tiba mengambil langkah yang kurang tepat. Misalnya, ketika orang tua memikirkan cita-cita anaknya pada saat kuliah, apalagi anaknya perempuan gitu yah hehe. Zaman sekarang ada orang yang mengambil langkah pacaran dahulu, perkenalan lebih jauh dahulu, dan lain-lain. Saat ini pun banyak laki-laki yang melamar ketika si perempuannya “masih kuliah”. Orang tua harus tahu bagaimana cara untuk menyikapi kalau-kalau ada yang melamar/anaknya ingin menikah. Saya merasakan apa yang dirasakan orang tua saya ketika ada laki-laki yang melamar saya, pasti bingung, takut, khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan menikah pada saat usia anaknya masih terhitung muda untuk menikah. Saya merasakan ketakutan Mama seperti khawatir dengan menikah muda nanti berujung perceraian, tidak melanjutkan kuliah, atau memilih mengurus anak dahulu sebelum berkuliah (rezekinya punya anak), dan lainnya. Sayapun terkadang memikirkan seperti apa yang Mama pikirkan kok, tapi ya itu kembali lagi kepada kita yang merasakannya nanti. Yang digarisbawahi adalah melihat sosok laki-laki yang melamarnya. Sebelum menyetujui lamaran, pastikan apa yang ditakutkan itu diutarakan kepada si calon suami, seperti kesepakatan bahwa setelah menikah itu kuliah tetap berjalan atau kesepakatan lainnya. Kalau calon suami “meng-iyakan”, itulah insyaaAllah menjadi takdirmu. Paling utama adalah melihat akhlak dan tanggung jawab si calon suami. Yang akhlaknya baik, insyaaAllah hablumminallah dan hablumminannasnya baik.
Kembali lagi, apabila ada laki-laki yang melamarmu pada saat kuliah dan kita menyetujui lamaran itu, kita harus tahu konsekuensi-konsekuensi apa saja yang akan diperoleh, ya harus belajar dari sekarang bagaimana untuk menyikapi persoalan. Contohnya bila sudah menikah, kita (istri) berada di bawah naungan suami £acieee, jadi ke mana-mana atau mengerjakan sesuatu itu istri harus izin dahulu. Buatku, organisasi pada saat bersekolah (SMP-SMA-kuliah) itu sangat menyenangkan, kita bisa dengan mudah berinteraksi dengan teman-teman, bahkan yang berbeda angkatan dan jurusan, namun setelah menikah ya yang saya rasakan sih “perasaan sangat menyenangkan untuk organisasi” itu agak menurun karena ya banyak pertimbangan dan pekerjaan lain yang tidak bisa ditinggalkan. Tapi jangan takut juga bila kita menikah, tingkat pertemanan dengan orang lain menurun. Teman yang baik akan menjaga dan menghargai kita.
Saya di sini ingin berbagi cerita tentang apa yang saya rasakan yaitu menikah ketika kuliah, tidak banyak sih, tapi intinya saja hehe. Saya menjalani pernikahan ini rasanya nano-nano lah yaaa. Haha. Siapa yang mau setelah menikah harus LDR (hubungan jarak jauh)? Tetapi yaaa tahun demi tahun, rintangan demi rintangan harus dijalani, dan sekarang Alhamdulillah, bersyukur kepada Allah, sangat berterima kasih kepada suami, orang tua, keluarga besar, sahabat, dan semua pihak yang mendukung, menemani, dan membantu dalam menyelesaikan studi S-1 Bimbingan dan Konseling ini. Jarak 2,5 tahun LDR dengan suami itu terbayar dengan wisuda. 4,5 tahun perjuangan orang tua dalam doa yang selalu dipanjatkan agar anaknya sukses. Ketakutan-ketakutan orang tua dan saya rasakan dulu, Alhamdulillah sudah dilalui dan terbayar dengan lulusnya diriku dengan status sudah menikah :’). Sekarang, saya ikut suami ke Papua. Jadi ingat waktu dulu sering ngeluh, jauh beneeeeerrrr LDR dengan suami, Bandung-Papua. :’)
Kejadian-kejadian yang ditakutkan bisa saja terjadi, namun tergantung kita untuk menyikapi dan menjalani rintangan tersebut. Apakah kita menyerah? Atau berjuang dalam keterbatasan? (Keterbatasan di sini dimaksudkan LDR yang tidak bisa sepenuhnya bareng-bareng dengan suami, hehe). Ternyata menikah selama kuliah itu tidak menakutkan yang dibayangkan (menurutku). Jadikan proses itu sebagai pendewasaan bagi kita agar menjalaninya lebih sabar, tawakkal, tentunya selalu mengingat Allah, ada Allah setiap langkah kita. Tidak perlu takut, yakinkan pada diri dan serahkan semuanya pada Allah apapun yang terjadi.   
(Ketika kuliah, selalu ada rasa ingin dibantuin mengerjakan tugas kuliah, skripsi, dan lain-lain dengan suami dan pasti ingin selalu dekat dengan suami. Tapi, tantangannya, kita dituntut untuk mandiri. Bersiap-siap aja yaaa, kita dituntut lebih m-a-n-d-i-r-i. Terlebih kalau tantangannya LDR T.T)





                                      

Selasa, 07 November 2017

Penguatan Pendidikan Karakter


Dalam rangka Dies Natalis UPI yang ke-63 di Bandung (20/10) sangat ramai. Kehadiran peserta mencapai 2000 orang karena pendaftaran yang gratis, mendapatkan sertifikat, dan snack. Tetapi, bukan hanya itu yang kami inginkan. Niat kami ingin mencari ilmu dari adanya seminar tersebut. Untuk sertifikat dan snack gratis mah bonus lah yaaa. Hehe. Dihadiri oleh Dr. (HC) Popong Otje D. yang sering disapa Ceu Popong, Prof. Uman Suherman, M.Pd. selaku guru besar Bimbingan dan Konseling UPI, dan Dr. Bambang W. selaku wakil ketua KPK.
Menurut T. Ramli (2003) dalam Fathurrohman, dkk. (2013, hlm. 15), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum ialah nilai-nilai sosial tertentu yang banyak dipengaruhi oleh karakter masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yaitu pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari karakter Bangsa Indonesia sendiri., dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Jadi dapat dipahami bahwa pendidikan karakter itu bermakna sama dengan pendidikan moral atau nilai (bukan dalam arti nilai=angka).
Nilai yang berada pada pendidikan karakter dapat diuraikan yaitu menurut Fathurrohman, dkk. (2013, hlm. 19) sebagai berikut: (1) religius; (2) jujur; (3) toleransi; (4) disiplin; (5) kerja keras); (6) kreatif; (7) mandiri; (8) demokratis; (9) rasa ingin tahu; (10) semangat kebangsaan; (11) cinta tanah air; (12) menghargai prestasi; (13) bersahabat; (14) cinta damai; (15) gemar membaca; (16) peduli lingkungan; (17) peduli sosial; dan (18) tanggung jawab. Nilai-nilai inilah yang akan mencirikan bahwa kita adalah manusia yang berkarakter dan tentu pada saat lahir, manusia masih dalam kondisi suci, kemudian pendidikan karakter dimulai dari keluarga. Ya keluarga. Keluarga akan membawa anak itu menjadi manusia seperti apa (maksudnya bukan berubah jadi power ranger ya, hehe). Ceu Popong menjelaskan bahwa “karakter dibangun dari mulai keluarga. Masa golden age akan menentukan dia akan menjadi sarjana atau tidak, paling penting adalah indung!” (semangatnya Ceu Popong). Ibu- ibu harus tahu mengenai masa golden age anak, yaitu dimulai sejak 0 – 5 tahun dalam menerapkan nilai-nilai karakter anak yang sudah dijelaskan. Sebelum mengajarkan kepada anak, orang tua dahulu yang menerapkan nilai karakter pada diri sendiri dan pada akhirnya diterapkan kepada anak-anaknya.
Jika berbicara tentang pendidikan, seseorang belajar tidak bisa dengan instant, teu bisa ujug-ujug kata bahasa Sunda mah, dan pasti ada proses yang sambung menyambung, yaitu dari perolehan ilmu pendidikan, pengalaman, dan reaksi orang tersebut. Di sekolah, yang memulai menerapkan pendidikan karakter adalah guru. “Sok atuh dari mulai diri sendiri, jadi guru yang baik. Guru nomor hiji (satu), khususnya dalam pendidikan formal” ujar Ceu Popong. Penguatan dan pengembangan karakter memerlukan pengajar/pelatih, dan pembimbing harus melebihi kemampuan siswa. Prof Uman menjelaskan tidak ada Presiden tanpa guru, tidak ada siapapun yang sukses itu tanpa guru. Ya, selain di lingkungan keluarga, sekolah merupakan hal yang sangat penting juga untuk mengembangkan karakter siswa, yaitu guru. Tanpa guru, kita tidak bisa apa-apa, dan dimaksudkan belum memiliki arah tujuan yang jelas.
“Makna pendidikan adalah memanusiakan manusia dengan cara-cara manusiawi dan normatif” Ujar Prof. Uman. Yang perlu diketahui, mendidik manusia kudu cageur, bageur, pinter, jeung singer. Pesan dari Prof. Uman adalah jangan menjadi guru yang ditakuti oleh siswa, tetapi dihormati oleh siswa. Jangan merasa lelah dan jadilah guru yang dikenang oleh siswanya (kata-kata tersebut sangat menyentuh bagiku). Mendisiplinkan siswa bukan dengan cara menakut-nakuti siswa, namun beri pengajaran yang baik dan keteladan dari gurunya. 
Agar bangsa ini maju, harus berdisiplin dalam segala hal, mulai dari diri sendiri, detik ini, hari ini, dan masa yang akan datang.  Ceu Popong menyebutkan ada resep membentuk karakter bangsa: (1) kerja keras; (2) membaca; (3) kerja ikhlas; dan (4) kerja tuntas. In shaa Allah bangsa ini menjadi bangsa memiliki karakter baik sebagai warga negara yang baik.

Sumber:

Fathurrohman, Pupuh, dkk. (2013). Pengembangan pendidikan karakter. Bandung: PT Refika Aditama. 

Selasa, 04 Oktober 2016

Semester Tujuh

Seharusnya aku sekarang mengerjakan tugas-tugas kuliah nih. Semester 7 sedang ditempuh, terakhir kuliah di kelas. Yaa hal itu akan segera berakhir dan tibalah persiapan skripsi. Ckckck.
Semakin menantang perkuliahan ini, semoga aku bisa bertahan sampai tuntas setuntas-tuntasnya. Waktu begitu cepat yah? Aku berkeluarga dari 26 September 2015, saat ini sudah memasuki Oktober 2016. Ya Rabb.. Berkahilah langkah hamba dan orang-orang di sekitar hamba..
Masa lalu jadikan pelajaran berharga bagi kita. Entah itu momen persahabatan, cinta, pembelajaran, dan lain-lain. Semoga lulus tepat waktu yah ^_^ Aamiin.


Ketika rindu itu datang, pada seorang lelaki yang sudah menikahiku. :’) 

Selasa, 17 Mei 2016

SUKSES, KARIR, KELUARGA

            Sukses berarti tercapainya sesuatu yang kita kerjakan. Dinamakan sukses bukan hanya diartikan sebagai kaya, cerdas, dan lainnya. Kesuksesan kita berawal dari tercapainya pekerjaan yang kita cintai. Sukses dalam karir pun bermacam-macam, ada yang menganggap sukses jika jabatannya meningkat, maupun hal yang terkecil sekalipun seperti seseorang telah mengerjakan tugas dengan baik mengenai mata pelajaran/mata kuliah yang dia senangi.  Mengenai karir, tentu kita sering membahas ini di perkuliahan, bahkan perbincangan  orang lain. Karir itu kehidupan yang pasti. Menurutku, ibu yang hanya mengurus rumah tangga sudah dikatakan karir, karena seorang ibu mengurus semuanya tentang rumah tangganya. Berawal dari membina anak, memasak, menaati suami (suami adalah bos bagi istri, hehe), mengurus rumah agar dapat terawat dengan baik. Dalam membina anak pun kita harus selalu update, karena zaman sekarang itu perkembangan teknologi atau ilmu semacamnya sangat cepat. Jadi, pertumbuhan dan perkembangan anak dapat dirasakan sendiri oleh kita dan kita membantu anak untuk mencapai tugas perkembangannya. Jika kita diam atau terlalu sibuk, maka kita tertinggal. Ya, ini adalah pandanganku terhadap sukses dalam karir.
            dr. Lula Kamal, M. Sc. mengatakan “kejarlah apa yang membuat kamu bahagia” ketika kuliah umum Bimbingan dan Konseling di BPU kemarin (17/5). Membahas karir memang tak ada habisnya, Saya menuliskan ini diperuntukkan para istri atau perempuan yang sedang mengejar karir. Karir sangat boleh bagi perempuan, namun kembali lagi pada pandangan masing-masing. Yang terpenting, karir tidak membuat keluarga terbaring dalam kesunyian, maksudnya tidak peduli terhadap keluarga, yang diingat hanyalah kerjaan sampai lupa bahwa ada waktunya refreshing bersama keluarga. Jangan sampai keluarga menyesuaikan dengan pekerjaan, tetapi pekerjaan harus menyesuaikan dengan keluarga (Pribadi, 2016).
            Cintailah pekerjaanmu, maka kau akan bahagia. Biarpun penuh dengan tantangan dan air mata, maka kau akan merasakan hasilnya di kemudian hari, karena hasil takkan mengkhianati proses. Masa depan adalah hal yang akan kita hadapi. Jika kita mempunyai hobi, maka cintailah hobimu, secara kontinu, dan jangan berhenti. Jikalau hobimu menulis, maka cintailah tulisanmu, menulislah secara kontinu, tulislah hal-hal yang menyenangkan atau pun duka, yang mengandung hikmah di dalamnya. Kau cintai dengan hati.
            Keluarga adalah nomor satu (Kamal, 2016). Saya pun setuju dengan pendapat beliau. Karena keluarga adalah tempat kita berteduh. Jika kita lelah dengan pekerjaan, maka ingatlah ada keluarga yang menanti untuk menghiburmu. Walaupun ketika sukses dalam karir pun kita akan bahagia dan mengabari kepada keluarga dengan bangga, kepada keluargalah kita mengekspresikan apa yang kita rasakan. Semua ini, atas izin Allah. Allah yang telah melahirkan rasa sedih, rasa senang, rasa bangga, rasa syukur, dan sebagainya. Atas izin Allah pula kita masih berdiri diri bumi ini, dapat melihat postingan ini, dan dapat menghirup udara segar setiap hari. Sadarkah dirimu?

            Ketika kumenuliskan kata demi kata di sini, saya menjadi sadar bahwa kita jangan terlalu mencintai dunia ini, karena dunia ini fana. Akhiratlah yang akan kekal abadi di dalamnya dan “Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang pandai dalam urusan dunia namun bodoh dalam urusan akhiratnya” (Hadits Riwayat Al-Hakim). Kita boleh mencintai apa yang ada di dunia ini, tapi tak lupa dengan akhirat. Semoga kita selalu dalam lindungan-Nya dan menjadikan kita orang yang selalu bersyukur atas apa yang Allah beri. Aamiin.. 

Jumat, 04 Maret 2016

Menilai Diri

Aku mendapatkan percakapan santai namun sangat berarti. Percakapan ini aku dapatkan dari sebuah grup di WA:
Seorang guru yang alim ditanya tentang dua keadaan manusia, yaitu (1) manusia rajin sekali ibadahnya, namun sombong, angkuh, dan selalu merasa suci. (2) manusia yang sangat jarang ibadah, namun akhlaknya begitu mulia, rendah hati, santun, lembut, dan cinta dengan sesama. Lalu sang guru menjawab: “Keduanya baik”, (meneruskan) boleh jadi suatu saat si ahli ibadah yang sombong menemukan kesadaran tentang akhlaknya yang buruk dan dia bertaubat lalu ia akan menjadi pribadi yang baik lahir dan bathinnya. Yang kedua bisa jadi sebab kebaikan hatinya, Allah akan menurunkan petunjuk lalu ia menjadi ahli ibadah yang juga memiliki kebaikan lahir dan bathin. Kemudian orang tersebut bertanya lagi, “Lalu siapa yang tidak baik kalau begitu?”. Sang Guru Sufi menjawab: “Yang tidak baik adalah KITA, orang ketiga yang selalu mampu menilai orang lain, namun lalai dari menilai diri sendiri.

Dari percakapan tersebut, aku merasakan bahwa betapa tidak tahu diri ini, sangat bisa untuk mengomentari keadaan orang lain (tidak apa-apa jika mengkritik yang membangun), namun kita lalai dari menilai diri kita sendiri. Semoga kita selalu memahami diri sendiri, berintropeksi diri akan-sedang-sudah melaksanakan sesuatu, dan terus berdoa semoga Allah selalu mengiringi langkah kita di manapun dan kapanpun. Aamiin.  
(Sumber: Kawan Imut)